REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim Hukum Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi menilai Mahkamah Konstitusi (MK) dalam mengambil keputusan terkait sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU), harus berlandaskan pada nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Tim Hukum Prabowo-Sandi, berharap MK mempertegas kemuliaannya melalui putusannya pada Kamis (27/6).
"Yakni sebuah putusan yang berlandaskan pada nilai-nilai kebenaran dan keadilan sesuai dengan kesepakatan bangsa dan mandat konstitusi, yaitu MK terikat pada pasal 22E ayat 1 UUD 1945," kata Ketua Tim Hukum BPN Prabowo-Sandi, Bambang Widjojanto dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa (25/6).
Dia juga menilai MK harus menegakkan kebenaran dan keadilan secara utuh. Jika tidak, maka keputusan MK akan kehilangan legitimasi, karena tidak ada kepercayaan publik di dalamnya.
Bambang menilai, satu saja unsur yang menjadi landasan atau rujukan keputusan MK mengandung unsur kebohongan terkait integritas dan kesalahan terkait profesionalitas. Misalnya, dengan mempertimbangkan keterangan ahli Eddy Hiariej yang memberikan labelling buruk sebagai penjahat kemanusiaan kepada Le Duc Tho padahal Le Duc Tho adalah Nobel Prize for Peace pada 1973 meski dia akhirnya menolaknya, maka keputusan MK menjadi invalid.
"Kesaksian Prof. Jazwar Koto, PhD (ahli 02) dalam persidangan tentang adanya angka penggelembungan 22 juta yang dia jelaskan secara saintifik berdasarkan digital forensik sama sekali tidak dideligitimasi oleh Termohon/KPU maupun Terkait/Paslon 01," ujarnya.
Tim Hukum BPN menilai yang dipersoalkan terhadap Jazwar Koto hanyalah soal sertifikat keahlian, padahal dia telah menulis 20 buku, 200 jurnal internasional, pemegang hak paten, penemu dan pemberi sertifikat finger print dan eye print, serta menjadi Direktur IT di sebuah perusahaan yang disegani di Jepang. Selain itu, Bambang mengatakan terkait dengan kesaksian ahli Jazwar Koto di persidangan yang tidak dibantah itu, dapat dibayangkan, jika mekanisme pembuktiannya dilakukan secara manual, mengadu C1 dengan C1 sungguh akan sangat membutuhkan waktu yang lama.
"Katakanlah pengecekan C1 dengan C1 membutuhkan waktu 1 menit sekali pengecekan, maka pengecekan tersebut akan memakan waktu sekitar 365 tahun dengan asumsi pemilihnya sekitar 192 juta pemilih. Atau kalau pengecekannya didasarkan per-TPS dengan asumsi jumlah TPS 813.330 TPS dan waktu pengecekan setiap TPS memakan waktu 30 menit maka waktu yang dibutuhkan untuk pengecekan secara keseluruhan dapat memakan waktu sekitar 46 tahun lamanya," katanya.
Selain itu, menurut dia, berdasarkan keterangan saksi Idham Amiruddin telah ditemukan 22 juta DPT siluman dalam bentuk NIK Rekayasa, pemilih ganda dan pemilih di bawah umur, pemohon telah berkali-kali mengajukan protes dan keberatan terhadap adanya DPT Siluman. Namun Bambang mengatakan, Termohon tidak pernah melakukan perbaikan yang serius terhadap DPT bermasalah tersebut dan Pemohon juga telah melaporkan soal DPT Siluman tersebut ke Bawaslu RI namun laporan tersebut tidak pernah ditindaklanjuti.
"Tidak jelasnya DPT, sebenarnya telah cukup menjadi alasan bagi majelis hakim MK untuk membatalkan pelaksanaan Pilpres 2019 sebagaimana MK telah membatalkan Pilkada Sampang dan Maluku Utara Tahun 2018 karena ketidakjelasan DPT," ujarnya.
Dia juga mengatakan, tidak adanya jaminan keamanan dan kehandalan terhadap sistem perhitungan suara KPU. Hal itu tampak dari pemaparan yang disampaikan saksi ahli dari termohon (KPU) maupun dari pemaparan komisioner KPU yang sering berkelit ketika ditanya Hakim MK maupun pihak Pemohon.
Hal itu menurut dia terkait upaya-upaya perbaikan atau komparasi dalam rangka pembenahan system perhitungan suara di KPU. Padahal dalam UU ITE Pasal 15 ayat 1 ditegaskan bahwa penyelenggara sistem informasi dan IT wajib memenuhi standar keamanan dan kehandalan.