REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koalisi Indonesia Kerja (KIK) dinilai lebih akan mengajak Partai Gerindra yang konsisten mengikuti proses pemilu hingga usai daripada menerima pihak yang sudah goyah untuk bergabung saat proses pemilu belum selesai. Sementara, Partai Demokrat tampak sudah tidak satu suara setelah pencoblosan meski proses pemilunya belum selesai.
Pengamat komunikasi politik dari Universitas Brawijaya Malang, Anang Sudjoko, menilai adalah hal wajar jika KIK yang dikomandani PDI Perjuangan lebih memberikan penawaran bergabung kepada Partai Gerindra daripada Partai Demokrat. Hanya saja, kata Anang, untuk menjaga soliditas koalisi memang sudah seharusnya tidak menerima parpol yang sebelumnya berseberangan.
"Kecuali ada kepentingan yang sangat strategis untuk kekuatan koalisi dan ini jelas akan bisa diterima manfaat secara real," ujar Anang saat dihubungi melalui pesan singkat, Selasa (25/6).
Kendati demikian, lanjut Anang, kehadiran Demokrat tidak menutup kemungkinan dinilai memiliki pengaruh. Apalagi, proses di Mahkamah Konstitusi (MK) masih membutuhkan jalur-jalur tambahan dalam rangka memenangkan lobi. Saat ini sidang perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) telah selesai dan menunggu pembacaan hasilnya dalam beberapa hari ke depan.
Selain itu, Anang menilai langkah politik yang dilakukan oleh Demokrat dapat merugikan diri sendiri. Sebab, langkah politik tersebut semakin meneguhkan citra Demokrat yang sering kali dinilai lemah komitmen dan berpijak di dua posisi yang ambigu.
"Dalam kasus saat ini, semakin mencoreng demokrat yang sangat oportunis dan vulgar," ujarnya.
Menurut Anang, partai berlambang bintang mercy itu sering bersikap gamang dalam menentukan koalisi. Ia menilai, karena mereka masih merasa sebagai partai besar tapi terbatas pada modal perolehan kursi di dewan. Sambungnya, sikap frontal Partai Demokrat justru akan membuat kubu waspada jika ingin bergabung dalam koalisi pemerintahan.
"Jika MK memenangkan 01, bisa jadi Koalisi 01 akan berpikir hati-hati untuk menerima PD," tutup Anang.