REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat transportasi dari Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) Yoga Adiwinarto berharap Moda Raya Terpadu (MRT) Jakarta fase II terintegrasi dengan Transjakarta. Menurutnya, integrasi fisik harus diwujudkan di semua stasiun MRT dan halte Transjakarta di sepanjang Bundaran Hotel Indonesia (HI)-Kota tersebut.
"Integrasi MRT-Transjakarta merupakan sebuah keharusan. Jadi seluruh stasiun MRT harus dapat terhubung secara fisik denga halte Transjakarta terdekat," ujar Yoga kepada Republika, Senin (24/6).
Ia menjelaskan, integrasi fisik di jalur MRT fase II harus benar-benar dilakukan agar tak mengulang kesalahan yang sama pada fase I. Sebab, kata dia, di beberapa stasiun MRT sepanjang Lebak Bulus-Bundaran HI tidak terhubung langsung dengan halte Transjakarta.
Selain itu, menurut Yoga, tarif MRT Jakarta cukup mahal jika dibandingkan dengan tarif Transjakarta. Tarif MRT berkisar Rp 3.500 sampai Rp 14 ribu, sementara Transjakarta menetapkan tarif flat hanya Rp 3.500.
Untuk itu, Yoga menuturkan, diperlukannya rancangan skema integrasi tarif antara MRT dan Transjakarta baik itu untuk bus pengumpan maupun BRT (bus rapid transit). Sehingga, penumpang tak perlu membayar berkali-kali untuk berpindah antarmoda di Ibu Kota.
"Mungkin dapat diterapkan skema tarif maksimal Rp 14 ribu yang berlaku selama tiga jam, jika penumpang menggunakan MRT dan BRT. Ini kan menghemat pengeluaran," kata Yoga.
Kepala Divisi Sekretaris Perusahaan PT MRT Jakarta Muhammad Kamaluddin memastikan, rencana pembangunan MRT fase II akan terintegrasi secara fisik dengan halte Transjakarta. Menurutnya, halte Transjakarta akan dibangun kembali di atas stasiun MRT.
"Iya rencananya akan kita bangun halte-halte baru tepat di atas stasiun MRT di sepanjang fase dua ini," tutur Kamal.