REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Konstitusi Demokrasi (Kode) Inisiatif, Veri Junaidi, menilai wajar jika dalam persidangan sengketa perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Pilpres 2019 beberapa waktu lalu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai pihak termohon hanya menghadirkan satu ahli saja. Sejauh KPU punya cukup bukti untuk membuktikan apa yang didalilkan pemohon, maka hal itu bukan jadi persoalan.
"Azasnya kan memang siapa yang mendalilkan dia harus membuktikan, oleh karena itu sangat wajar jika pemohon menghadirkan lebih banyak saksi dan juga ahli dibanding dengan pihak yang lain," kata Veri, di Jakarta Sabtu (22/6).
Veri juga menilai bukti-bukti yang dibawa oleh KPU dirasa sudah cukup kuat untuk membantah seluruh permohonan. Apalagi, saksi yang dihadirkan kuasa hukum Prabowo-Sandiaga tidak cukup kuat membuktikan terjadinya pelanggaran yang dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). "Kalau kemudian itu nanti dimunculkan lagi adanya saksi-saksi baru dalam persidangan, itu justru akan menjadi blunder sendiri kan," ujarnya.
Kendati demikian, Veri menyayangkan lantaran KPU terkesan seperti tidak mengoptimalkan kesempatan untuk menghadirkan saksi. Namun ia memahami bahwa hal tersebut sebagai sebuah strategi. "Sebagai sebuah strategi ya itu sah-sah saja mereka punya tim kuasa hukum yang bisa membaca berdasarkan bukti dan fakta yang kemudian diajukan," ucapnya.
Pada sidang Kamis (20/6), KPU hanya menghadirkan seorang ahli IT Marsudi Wahyu Kisworo. Marsudi merupakan arsitek Sistem Informasi Penghitungan Komisi Pemilihan Umum (Situng KPU). Saksi lainnya yaitu, Riawan Tjandra, hanya memberikan saksi secara tertulis.