Jumat 21 Jun 2019 22:26 WIB

Saksi 01 Sebut Pelanggaran TSM Bisa Diselesaikan di Bawaslu

Bawaslu memiliki kewenangan untuk memproses dugaan pelanggaran TSM.

Rep: Dian Erika Nugraheny/ Red: Teguh Firmansyah
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman memimpin sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) sengketa Pilpres 2019 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jumat (21/6).
Foto: Republika/Prayogi
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman memimpin sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) sengketa Pilpres 2019 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jumat (21/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Salah seorang ahli yang dihadirkan kubu Joko Widodo-Ma'ruf Amin, Heru Widodo mengatakan, dugaan pelanggaran terstruktur, sistematis dan masif (TSM) seharusnya bisa diselesaikan pada tahapan proses pemilu.

Menurutnya, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) berwenang dalam memproses dugaan pelanggaran TSM. Selain Bawaslu, dugaan pelanggaran TSM juga bisa disengketakan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Baca Juga

"Pelanggaran TSM diproses pengaduannya dan diputuskan oleh Bawaslu. Apabila peserta dikenai sanksi diskualifikasi karena terbukti melakukan pelanggaran TSM, dapat mengajukan keberatan ke Mahkamah Agung, setelah KPU menerbitkan keputusan pembatalan sebagai calon," kata Heru saat memberi keterangan sebagai ahli administrasi negara dalam lanjutan sidang sengketa hasil pilpres di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jumat (21/)

Heru menjelaskan UUD 1945 telah mengatur bahwa perselisihan hasil pemilihan umum serentak di tingkat nasional harus diselesaikan di MK. Sementara perselisihan hasil pilkada serentak diselesaikan di badan peradilan khusus. Namun lantaran badan peradilan lhusus ini belum ada, penyelesaiannya masih dilakukan di MK.

Heru juga memandang pembentuk UU tidak tanpa tujuan membuat aturan untuk penyelesaian perkara-perkara pemilu sesuai prosedur.

Ahli hukum yang pernah menjadi pengacara Denny Indrayana ini mengatakan pembuat UU bertujuan membangun budaya politik yang makin dewasa, dengan membatasi wewenang lembaga penegak hukum yang ditunjuk, dan pembatasan hak peserta menggugat sesuai tahapan pemilihan.

"Tidak semua pembatasan serta merta bertentangan dengan UUD 1945, sepanjang untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum," jelasnya.

Dia juga menyebut pembatasan wewenang penegak hukum untuk mengadili sengketa proses dan hasil pemilu merupakan bagian dari upaya mendorong terbangunnya etika serta budaya politik yang semakin dewasa. Caranya dengan membuat perumusan norma UU.

"Seseorang yang ikut dalam kontestasi pilpres tidak serta merta menggugat suatu hasil pemilihan ke Mahkamah atas dasar persoalan-persoalan hukum pada tahapan pencalonan, yang seharusnya telah dimohonkan kepada lembaga yang diberi wewenang untuk itu," katanya.

Terakhir, Heru mengatakan ada sejumlah lembaga yang diberi wewenang UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 untuk menyelesaikan sengketa proses serta hasil pemilu. Lembaga-lembaga itu adalah Bawaslu, DKPP, Pengadilan Tata Usaha Negara, dan MK.

"Kedudukan lembaga tersebut mempunyai tugas dan fungsi masing-masing dalam penegakan hukum Pemilu. Hal ini yang menjadi pembeda dengan hukum materiil pada pemilu-pemilu sebelumnya," tambahnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement