REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM)Edi Hiariej berpendapat, hendaknya pemohon perkara sengketa hasil Pilpres 2019 tidak mengajak Mahkamah Konstitusi menjadi 'mahkamah kliping'. Edi merujuk pada pembuktian yang berdasar pada potongan berita.
"Hendaknya juga Mahkamah jangan diajak untuk menjadi mahkamah kliping dan koran yang pembuktiannya hanya didasarkan pada kliping koran atau potongan berita," ujar Hiariej di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Jumat (21/6).
Edi mengatakan hal tersebut ketika memberi keterangan selaku ahli yang dihadirkan pihak terkait atau kubu Jokowi-Ma'ruf, dalam sidang keempat perkara sengketa hasil Pemilu Presiden 2019 di Mahkamah Konstitusi.
Edi mengatakan, kubu 02 meminta MK tak menjadi 'mahkamah kalkulator' karena hanya menangani terkait perselisihan hasil perhitungan suara. Namun pihak pemohon banyak menyajikan potongan berita dan koran dalam bentuk kliping sebagai bukti.
Lebih lanjut Hiariej mengatakan, dalam kaitannya untuk memastikan kebenaran materiil dan formil ada tiga hal yang harus dibuktikan. "Pertama kecurangan secara terstruktur, kedua sistematis, dan ketiga adalah masif," kata Hiariej.
Seberapa signifikan kecurangan TSM terhadap selisih jumlah suara dinilai pemohon sebaiknya diungkapkan di dalam persidangan. Kendati demikian ahli menilai pemohon belum cukup membuktikan bila selama ini banyak memberi bukti berdasarkan kliping berita dan koran.