Kamis 20 Jun 2019 19:08 WIB

Sofyan Basir Jalani Sidang Perdana Pekan Depan

Pada sidang perdana, penuntut umum KPK akan membacakan dakwaan untuk Sofyan.

Sofyan Basir
Foto: Antara/Reno Esnir
Sofyan Basir

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur nonaktif PLN Sofyan Basir akan menjalani sidang dakwaan pada pekan depan. Sofyan yang terjerat kasus suap terkait kontrak kerja sama PLTU Riau-1 itu akan menjalani sidang perdananya di Pengadilan Tipikor Jakarta. 

"KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) telah menerima informasi, persidangan perdana untuk terdakwa Sofyan Basir akan dilakukan pada hari Senin, 24 Juni 2019 di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah dalam pesan singkatnya, Kamis (20/6).

Baca Juga

Pada sidang pertama tersebut, kata Febri, penuntut umum KPK akan membacakan dakwaan yang telah disusun sebelumnya. Dalam dakwaan, lanjut Febri, akan diuraikan perbuatan-perbuayan yang diduga dilakukan oleh Sofyan, terutama dalam kapasitas membantu terjadinya tindak pidana korupsi suap terkait kontrak kerjasama PLTU Riau-1.

Adapun dalam merampungkan berkas penyidikan Sofyan, penyidik sedikitnya telah memeriksa 74 saksi. Mereka yang diperiksa terdiri atas sejumlah unsur, di antaranya menteri ESDM, pejabat di PLN dan anak perusahaannya, pihak PT Samantaka Batubara, anggota DPR, mantan pengurus Partai Golkar, dan pihak swasta lain.

Keterlibatan Sofyan berawal ketika Direktur PT Samantaka Batubara mengirimi PT PLN (Persero) surat pada Oktober 2015. Surat pada pokoknya memohon PLN memasukkan proyek dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN.

Namun, surat tak ditanggapi. Bos Blackgold Natural Resources Limited Johannes Budisutrisno Kotjo akhirnya mencari bantuan agar dibukakan jalan berkoordinasi dengan PLN untuk mendapatkan proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang Riau-I.

Pertemuan diduga dilakukan beberapa kali. Pertemuan membahas proyek PLTU itu dihadiri mantan wakil ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih, Sofyan, dan Johannes. Namun, beberapa pertemuan tak selalu dihadiri ketiga orang tersebut.

Selanjutnya, pada 2016, Sofyan menunjuk Johannes mengerjakan proyek Riau-I. Sebab, mereka sudah memiliki kandidat mengerjakan PLTU di Jawa. Padahal, saat itu, Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan yang menugaskan PT PLN menyelenggarakan Pembangunan Infrastruktur Kelistrikan (PIK) belum terbit. PLTU Riau-I dengan kapasitas 2 x 300 Megawatt kemudian diketahui masuk Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN.

Johannes meminta anak buahnya siap-siap karena sudah dipastikan Riau-I milik PT Samantaka. Sofyan lalu memerintahkan salah satu Direktur PT PLN merealisasikan PPA antara PLN dengan BNR dan CHEC.

Sofyan akhirnya ditetapkan sebagai tersangka. Penetapan tersangka merupakan pengembangan penyidikan Eni, Johannes, dan mantan menteri sosial Idrus Marham yang telah divonis. Eni dihukum enam tahun penjara, Kotjo 4,5 tahun penjara, dan Idrus Marham 3 tahun penjara.

Sofyan dijerat Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 56 ayat (2) KUHP Juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

 

Dian Fath Risalah

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement