Kamis 20 Jun 2019 08:29 WIB

Kontroversi Kematian Muhammad Mursi

Mesir menilai seruan PBB untuk investigasi kematian Mursi senada dengan seruan Turki.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Elba Damhuri
Sepak terjang Muhammad Mursi.
Foto:
Mantan presiden Mesir Muhammad Mursi saat berada di pengadilan di Kairo, Mesir, 21 Juni 2015.

Tiga surat kabar utama milik negara menggambarkan mantan presiden sebagai "terdakwa" atau "almarhum", dengan beberapa surat kabar milik swasta bahkan tidak memberitakannya.

Hal itu pun tecermin pada saluran televisi satelit Mesir. Televisi menyampaikan berita dalam istilah yang kabur dan mendadak. Pemberitaan merujuk ke organisasi Ikhwanul Muslimin sebagai kelompok "teroris".

Surat kabar milik pemerintah terbesar, al-Ahram, menerbitkan berita kematian Mursi di pinggiran halaman keempatnya di bawah dengan judul "Kematian Muhammad Mursi Selama Persidangannya dalam Kasus Spionase".

Liputan koran al-Akhbar pun serupa. Pemberitaannya termasuk satu paragraf kecil di bawah berjudul "Kematian Muhammad Mursi Selama Persidangannya".

Makalah al-Gomhuria menerbitkan paragraf pendek di bagian bawah halaman ketiga di bawah judul yang sama. Hingga kini tidak ada pernyataan resmi dari kepresidenan Mesir atau as-Sisi mengenai kematian Mursi.

Pemakamannya yang dihadiri oleh beberapa anggota keluarganya terkesan tergesa-gesa, yang terjadi saat fajar dengan petugas keamanan berjaga di luar pemakaman al-Wafaa Wa al-Amal. Tidak ada jurnalis atau pelayat yang diizinkan hadir.

"Kami memandikan tubuhnya yang suci di rumah sakit penjara Tora, melakukan shalat untuknya di masjid penjara. Penguburan itu di pemakaman untuk panduan spiritual Ikhwanul Muslimin," tulis putra Mursi, Ahmed, melalui akun Facebook.

Menurut pengacara Mursi, mantan presiden tersebut ingin dimakamkan di desanya di Provinsi Sharqiyah. Namun, otoritas Mesir memutuskan untuk menguburkannya di pemakaman di Medinat Nasr, Kairo.

Di bawah pemerintahan as-Sisi, penyensoran media di Mesir memang meningkat drastis. Pada tahun 2018, Presiden meratifikasi Undang-Undang Kejahatan Antisiber dan Teknologi Informasi, yang seolah-olah bertujuan untuk memerangi "ekstremisme" dan "terorisme".

Namun, undang-undang mengizinkan otoritas Mesir untuk memblokir situs-situs yang dianggap ancaman terhadap keamanan nasional atau ekonomi nasional. Individu yang mengunjungi situs tersebut dapat menghadapi denda dan penalti yang tinggi.

Menurut Asosiasi untuk Kebebasan Berpikir dan Berekspresi (AFTE), Kairo telah memblokir akses ke hampir 500 situs, yang umumnya milik organisasi media. Selain itu, setidaknya 35 jurnalis, jurnalis warga negara, dan narablog diyakini saat ini ditahan di Mesir.

(ap/reuters ed: yeyen rostiyani)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement