Rabu 19 Jun 2019 21:26 WIB

Prosedur Audit Investigasi BPK 2017 Dipertanyakan

Melalui pengacaranya, SN ajukan gugatan untuk membatalkan Audit Investigasi BPK 2017.

Maqdir Ismail
Foto: Republika/ Wihdan
Maqdir Ismail

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pelaksanaan audit investigasi BPK 2017 atas dugaan tindakan pindana korupsi dalam pemberian surat keterangan lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Syamsul Nursalim dipertanyakan. Audit itu dinilai melanggar prinsip independen, objektif dan profesional sehingga hasilnya keliru.

Karena prosedurnya tidak tepat, pengacara Syamsul Nursalim (SN), Maqdir Ismail mengatakan hasil audit itu bertentangan dengan audit BPK yang sebelumnya telah dilakukan pada 2002 dan 2006. Pada audit BPK 2002 dan 2006 tidak ditemukan kerugian negara.

Namun pada audit 2017 tiba-tiba muncul kerugian negara dalam pemberian SKL itu. "Inilah yang kami gugat,” kata Maqdir Ismail dalam keterangan persnya.

Bersama pengacara senior Otto Hasibuan, Maqdir telah mengajukan gugatan melalui Pengadilan Negeri Tangerang, Banten, agar pengadilan membatalkan audit Investigasi BPK 2017. "Yang kami gugat itu bukan laporan BPK RI tetapi pada prosedur yang tidak mengikuti Undang-undang dan Peraturan BPK sendiri mengenai Standar Pemeriksaaan Keuangan Negara,” kata Maqdir menegaskan.

Maqdir mengatakan audit 2017 hanya menggunakan satu sumber yaitu data dari hasil penyelidikan KPK. Auditor tidak pernah melakukan konfirmasi terhadap auditee (pihak yang bertanggung jawab atau yang diperiksa), dalam hal ini adalah Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan Syamsul Nursalim.

“Karena pelaksanaannya tidak sesuai dengan UU dan peraturan yang berlaku, ujar Maqdir, pihaknya menggugat dan meminta pengadilan untuk menyatakan bahwa Audit BPK 2017 tidak berkekuatan hukum mengikat. "Penentuan kerugian negara di laporan audit ini tidak bisa dipakai sebagai dasar dalam penyidikan SN,” katanya.

Mengenai SKL, Otto mengatakan, surat yang diberikan pemerintah melalui BPPN pada April 2004 itu sebetulnya hanya untuk memberikan kepastian hukum. SKL bukan tanda bahwa SN sebagai pemegang saham BDNI sudah melunasi kewajibannya.

Pelunasan kewajiban BLBI oleh SN telah berlangsung jauh sebelumnya pada Mai 1999. Tepatnya saat perjanjian Master Settlement Acquisition Agreement (MSAA) antara SN dengan pemerintah dinyatakan closing. "Ini ditandai dengan pemberian surat release and discharge (R&D) pada tanggal yang sama dan ditangani oleh Menteri Keuangan saat itu Bambang Subianto, Kepala Deputi BPPN Farid Harianto dan SN sendiri," ujar Otto menjelaskan.

Surat R&D memuat pernyataan pemerintah tidak akan memulai atau melakukan tuntutan hukum apapun terhadap dugaan pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) dan BLBI. Surat ini, ujar Otto, terdiri dua dokumen yaitu Shareholders Loan Release yang terakit dengan BMPK dan Liquidity Support Release terkait dengan BLBI.

Penandatangan R&D lalu diikuti oleh Surat Pernyataan (Letter of Statement) yang dibuat SN dan BPPN pada 25 Mei 1999. Surat pernyataan dibuat di hadapan notaris Merryana Suryana dimana BPPN menyatakan transaksi yang tertera di dalam MSAA telah dilaksanakan oleh Syamsul Nursalim. Dalam pernyatan ini, pemerintah juga berjanji dan menjamin tidak menuntut SN dalam bentuk apapun, termasuk tidak melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan secara pidana.

"Langkah KPK yang menjadikan SN dan istrinya sebagai tersangka telah melanggar hak immunitas yang diberikan oleh pemerintah pada 20 tahun lalu," kata Otto menegaskan.

Sesuai MSAA, Otto memaparkan, SN sebagai pemegang pengendali Bank BDNI diwajibkan melunasi kewajiban BLBI sekitar Rp 28 triliun. Kewajiban Rp 1 triliun dibayar dalam bentuk tunai, dan sisanya sekitar Rp 27 triliun dalam bentuk saham di 12 perusahaan. “Seyogyanya KPK menaati perjanjian tersebut agar keadilan dan kepastian hukum bisa ditegakkan,” ucap Otto.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement