Rabu 19 Jun 2019 08:55 WIB

Mikrolet Terintegrasi Transjakarta Masih Minim

Idealnya, mikrolet dirotasi jalur trayeknya

Penumpang turun dari angkutan umum Mikrolet, di Terminal Kampung Melayu, Jakarta, Selasa (11/12/2018).
Foto: Antara/Aprillio Akbar
Penumpang turun dari angkutan umum Mikrolet, di Terminal Kampung Melayu, Jakarta, Selasa (11/12/2018).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Organisasi Angkutan Darat (Organda) menyebutkan, memasuki usia DKI Jakarta yang ke-492 tahun ini, ternyata baru tujuh persen dari total mikrolet yang sudah terintegrasi dengan Transjakarta. Dari total 12 ribu unit, baru sebanyak 800 mikrolet yang terintegrasi.

“Kalau kita berbicara upaya menekan kemacetan, tentu angka ini cukup kecil," kata Ketua Organda DKI Jakarta Shafruhan Sinungan, Selasa (18/6).

Integrasi yang baik antarangkutan darat, kata dia, menjadi syarat penting guna menarik minat masyarakat agar mau beralih menggunakan transportasi umum. Transportasi yang ada di DKI Jakarta ini sebenarnya sudah cukup lengkap, mulai dari mikrolet, bus Transjakarta, kereta rel listrik (KRL), sampai moda raya terpadu (MRT).

Bahkan, tak lama lagi kereta api ringan atau lintas rel terpadu (LRT) juga akan ikut bergabung dalam jajaran moda transportasi publik DKI. Sayangnya, lanjut Shafruhan, integrasi dari setiap jenis transportasi publik yang telah tersedia itu masih belum optimal.

Idealnya, mikrolet dirotasi jalur trayeknya menjadi angkutan pengumpul yang masuk ke lingkungan pemukiman warga, dengan tujuan akhir di koridor-koridor Transjakarta.

"Transjakarta juga terhubung dengan MRT dan KRL. Jadi, kalau dari depan rumah sudah tersedia transportasi publik yang terintegrasi, maka ini akan menarik minat warga untuk beralih," ujar dia.

Sementara, Direktur Operasional PT Transportasi Jakarta (Transjakarta) Daud Joseph mengatakan, Transjakarta akan menambah lima rute baru tiap bulannya untuk meningkatkan jumlah penumpang. Agenda menambah lima rute baru tiap bulan ini, menurut dia, sebagai strategi mencapai target satu juta penumpang per hari.

Hingga saat ini, jumlah penumpang Transjakarta per harinya telah mencapai sekitar 800 ribu orang dan sedang menuju 900 ribu. Dalam internalnya sendiri, Daud dan tim menyebutnya sebagai “Gerakan 900K Gaspol”.

“Pokoknya kita mesti ‘gas’ gimana caranya supaya bisa mencapai 900 ribu penumpang per hari dalam satu sampai dua bulan ini. Kalau sudah 900 ribu //kan// tinggal selangkah lagi 1 juta,” kata Daud.

Selain terus membuka rute-rute baru, ia menyebutkan, pihaknya juga akan menambahkan jumlah bus kecil dari semula 904 unit menjadi 1.441 unit dari mulai bulan depan hingga Oktober mendatang. Dengan penambahan ini, ia optimistis jumlah penumpang akan naik.

“Nanti akan ada total penambahan 93 rute, sesuai dengan surat keputusan Dinas Perhubungan (Dishub),” ujar dia.

Selain itu, Daud juga mengatakan, pengintegrasian Transjakarta dengan moda raya terpadu (MRT) dan lintas rel terpadu (LRT) sangat membantu mencapai target satu juta penumpang per hari. Untuk LRT, ia mengatakan, sudah ada sekitar 50 unit bus Transjakarta yang berintegrasi dan pihaknya menargetkan untuk menambah satu hingga dua rute lagi pada Juli 2019.

Butuh masterplan

Pengamat transportasi dari Institut Studi Transportasi (Instra), Deddy Herlambang, menilai skema moda transportasi di Jakarta membutuhkan rencana induk atau masterplan yang dapat menjadi pedoman dalam proses pembangunan dan pengembangannya. Deddy mengatakan, saat diwawancarai di Jakarta, Senin, rancangan yang tertera dalam masterplan akan mempermudah dan memperjelas arah pengembangan transportasi di Jakarta dari waktu ke waktu.

“Pembangunan secara bertahap akan jelas. Tahun ini, lima tahun lagi, ke depan akan bagaimana, semua jelas. Secara makro, secara holistik semua terbangun secara jelas,” kata Deddy.

Selain rencana induk, dia juga mengatakan, penyelenggaraan layanan transportasi di Ibu Kota perlu dilakukan oleh satu badan yang dapat mengatur pengoperasian seluruh armada.

Perkembangan transportasi Ibu Kota, dengan kehadiran MRT, layanan bus Transjakarta, kereta Commuter Line, serta LRT yang sedang dalam masa uji publik, akan meraih hasil yang lebih optimal apabila penyelenggaraannya diatur oleh satu badan yang kuat sehingga dapat diintegrasikan secara maksimal.

“Badan penyelenggara dapat mengoperasikan armada bus, kereta, dan lain-lain. Kalau sudah ada masterplan, sebaiknya ada badan satu komando yang menyelenggarakan itu. Seperti otoritas transportasi darat (Land Transport Authority/LTA) milik Singapura contohnya,” kata dia menjelaskan.

Integrasi antarmoda yang tertata secara detail, kata Deddy, dapat membuat masyarakat lebih tergerak untuk menggunakan transportasi publik dibandingkan kendaraan pribadi atau moda lain seperti layanan kendaraan daring.

Sebagai contoh, ia mengatakan, integrasi MRT dan Transjakarta seharusnya tak hanya sampai di prasarana stasiun dan haltenya, tetapi juga jadwal kedatangan dan keberangkatan kedua armada.

"Misalnya, ketika MRT-nya sampai di stasiun tujuan, bus Transjakarta juga sudah sampai dan siap menjemput pengguna yang hendak melanjutkan perjalanan,” kata dia.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement