Selasa 18 Jun 2019 18:29 WIB

Abdullah Hehamahua: Tak Ada Radikalisme di KPK

Tuduhan tersebut dinilai sebagai sikap ngawur dari sekelompok orang.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Andi Nur Aminah
Mantan penasihat KPK Abdullah Hehamahua (kiri).
Foto: Republika/Yasin Habibi
Mantan penasihat KPK Abdullah Hehamahua (kiri).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Penasihat di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abdullah Hehamahua berang dengan opini yang menyebut lingkungan di lembaga anti-rasuah itu terpapar radikalisme dan terorisme. Abdullah menegaskan, tuduhan tersebut sebagai sikap ngawur dari sekelompok orang yang tak senang dengan upaya penyidik dan pegawai KPK dalam memusnahkan praktik korupsi di Indonesia.

“Saya delapan tahun di KPK. Tidak pernah ada saya temukan radikalisme di sana,” ujar Abdullah saat dijumpai di aksi damai di kawasan Merdeka Barat, Jakarta, Selasa (18/6).

Baca Juga

Ia meminta agar masyarakat tak terjebak dengan opini sesat tentang ketaatan beribadah di lingkungan lembaga anti-rasuah sebagai dalil pembenaran adanya paparan radikalisme dan terorisme di level para penyidik dan pegawai KPK. Abdullah menceritakan tentang pengabdiannya selama delapan tahun di KPK.

Dia mengatakan, memang benar lingkungan di KPK sarat dengan nilai-nilai keagamaan. Ia menyontohkan, bagi para pegawai atau penyidik Islam yang akan dengan sigap menjalankan nilai-nilai keagamaannya dalam keseharian. “Contohnya shalat. Itu kalau setiap azan bunyi, semua ruangan dengar. Dan itu otomatis pegawai yang Islam akan shalat di masjid-masjid atau di mushala-mushala,” ujar dia.

Ketataan serupa, kata Abdullah, juga tonjolkan para pegawai dan penyidik yang Kristiani, serta yang beragama lain. Namun ia mempertanyakan, apakah dengan ketaatan peribadatan tersebut yang membuat tuduhan KPK terpapar radikalisme yang mengarah pada watak terorisme. “Tidak pernah saya temukan. Apakah dengan ketaatan dalam beragama itu sampai mereka (KPK) dikatakan radikalisme?,” ujar Abdullah.

Sebaliknya, Abdullah justru curiga dengan tuduhan KPK yang dikatakan terpapar radikalisme dan terorisme tersebut sebagai aksi pembusukan kinerja penyidik dan pegawai selama ini. “Apakah karena ada Novel Baswedan dan penyidik-penyidik lain yang sangat taat dalam menjalankan agamanya, dan mencoba untuk membongkar mega korupsi, dikalangan pejabat tinggi sehingga mereka dianggap sebagai radikalisme?,” tanya Abdullah.

Atau kata dia, tuduhan terpapar radikalisme dan terorisme itu sebagai aksi perlawanan dari kelompok jahat yang selama ini berhasil diringkus  dengan cara menyemburkan opini negatif terhadap KPK. “Karena yang paling banyak ditangkap oleh KPK dalam lima tahun terakhir adalah pejabat-pejabat yang berkoalisi dengan pemerintahan, sehingga mereka (KPK) dianggap radikalisme?,” sambung Abdullah.

Jika itu yang dimaksud, Abdullah menegaskan, agar bentuk radikalisme positif tersebut tetap dipertahankan. Karena seharusnya, menurut Abdullah, pemimpin dan penyidik, serta para pegawai di KPK harus sama-sama punya misi radikal yang positif dalam pemberantasan korupsi. “Kalau tidak radikal (positif), bagaimana dia mau tangkap itu koruptor?,” sambung Abdullah.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement