Senin 17 Jun 2019 19:42 WIB

KPK Tunggu Realisasi Koruptor Dipindahkan ke Nusakambangan

Pemindahan tidak harus menunggu pembangunan Lapas baru di Nusakambangan.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Ratna Puspita
Juru bicara KPK Febri Diansyah
Foto: Republika/ Wihdan
Juru bicara KPK Febri Diansyah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunggu realisasi janji Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham untuk memindahkan narapidana kasus korupsi ke Lapas Nusakambangan. Hal ini setelah terpidana kasus korupsi KTP-elektronik Setya Novanto berada di sebuah toko bangunan di Jawa Barat pada Jumat (14/6) lalu. 

Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyebut, janji pemindahan napi korupsi ke Nusakambangan merupakan hasil evaluasi pascaoperasi tangkap tangan (OTT) KPK di Lapas Sukamiskin Bandung. Dari kajian yang telah dilakukan KPK dan koordinasi sebelumnya, ia mengatakan, pemindahan tersebut tidak harus menunggu pembangunan Lapas baru di Nusakambangan. 

Baca Juga

Sebab, ia mengatakan, ada sejumlah sel di sana masih belum digunakan. "Ada sel di Nusa Kambangan dengan kategori maximum security. Itu sudah bisa dilakukan daftar nama napi korupsi yang akan dipindahkan," kata Febri di Gedung KPK Jakarta, Senin (17/6).

Ia mengatakan KPK berharap pemindahan tersebut dan sistem yang sudah ada akan mencegah narapidana korupsi bisa plesiran seperti yang terjadi pada Novanto. "Misalnya ada narapidana yang ditemukan publik di toko bangunan atau ditemukan di rumah makan atau di tempat-tempat lain," ujar Febri 

Febri menilai peristiwa Novanto plesiran dapat mengikis kredibilitas Kementerian Hukum dan HAM. Padahal, ia menambahkan, Kemenkumham, khususnya Ditjen Pemasyarakatan, sedang melakukan upaya perbaikan.

Selain soal lapas, KPK juga menilai peraturan menteri tentang pemberian remisi perlu direvisi lantaran memiliki risiko transaksional. Hasil kajian, ada keterlibatan pihak-pihak tertentu di Lapas untuk membahas apakah seseorang mendapatkan remisi atau tidak. 

"Jadi ini perlu dilakukan revisi dengan indikator yang lebih jelas. Jadi, seorang narapidana itu mendapatkan remisi itu indikatornya harus jelas dan terukur agar meminimalisir subjektivitas di sana. Pemberian remisi harus dilakukan berdasarkan sistem, bukan berdasarkan subjektivitas pejabat atau petugas di Lapas tersebut," terang Febri.

"Kecuali orang-orang yang memang tidak diperbolehkan mendapat remisi. Misalnya, dalam kasus korupsi atau kejahatan yang serius lainnya yang tidak menjadi justice collaborator tidak bisa mendapatkan remisi. Itu diatur sebagai sebuah sistem. Narapidana yang benar-benar sudah melakukan sekian pelanggaran juga tidak punya hak untuk mendapatkan remisi sesuai mekanisme yang ada di Ditjen Pemasyarakatan," tambah Febri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement