REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Juru Kampanye Urban Greenpeace Indonesia, Muharram Atha Rasyadi, mengatakan bahwa masalah plastik sudah menjadi krisis di Indonesia. Menurutnya, meski riset yang dipublikasikan oleh Jenna Jambeck pada 2015 terkait Indonesia penghasil sampah plastik terbesar kedua di dunia masih banyak dipertanyakan, sejauh ini belum ada penelitian tandingan yang coba melawan hasil data tersebut.
Terlepas dari persoalan peringkat tersebut, menurut Atha, sinyal terkait krisis ini sudah kuat terpancar di banyak daerah di Indonesia. Atha mengatakan, untuk mengatasi permasalahan sampah plastik tersebut tidak cukup hanya dengan daur ulang. Apalagi, tingkat daur ulang hanya mencapai sembilan persen saja secara global.
"Jurang antara produksi dan pengelolaan plastik sekali pakai seperti daur ulang sangatlah besar. Kuncinya adalah pengurangan," tutur Atha kepada Republika.co.id, Jumat (14/6).
Atha menyambut positif sejumlah daerah yang sudah menerapkan pengurangan atau diet kantong plastik. Atha melihat hal ini bisa menjadi awal yang baik untuk pembatasan plastik sekali pakai yang beredar di masyarakat. Terlebih, saat ini sudah ada berbagai alternatif untuk pengganti kantong plastik.
Selain daur ulang, menurut Atha, bank sampah juga bekerja dengan efektif. Akan tetapi, bank sampah belum cukup menjadi solusi karena jumlah dan keterjangkauannya yang terbatas di masyarakat. Terkait keberadaan bank sampah ini, Atha melihat masih diperlukan berbagai perbaikan.
Sejumlah kasus pencemaran lingkungan akibat sampah plastik terjadi sepanjang 2018. Sebut saja paus terdampar di Wakatobi, penyu yang ditemukan di pesisir Kulonprogo dengan perut dipenuhi sampah plastik, serta video viral di Nusa Penida yang diambil oleh wisatawan asing yang menunjukan kondisi bawah laut yang penuh sampah.