REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, Veri Junaidi menilai tudingan jika Mahkamah Konstitusi (MK) adalah mahkamah kalkulator tidak tepat. Sebab menurutnya, MK tidak hanya sekedar bekerja menghitung-hitung selisih hasil pemungutan suara pemilu, namun juga sempat memutuskan perkara pelanggaran terstruktur, sistematis dan masif (TSM).
Selain itu, Veri juga yakin sembilan hakim MK yang memiliki latar belakang negarawan, ahli tata negara dan orang-orang yang sangat memahami proses seluk-beluk perselisihan hasil pemilu, bisa dipercaya adil dalam memutuskan sengketa tersebut.
"MK juga akan mampu memberikan pandangan- pandangan yang jernih baik secara teoritik dan praktik bagaimana penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Jadi MK itu bukan hanya ruang untuk beradu argumentasi secara teori namun juga tempat menilai apakah pemilu kita sudah berjalan secara demokratis atau belum," ujarnya saat diskusi bertajuk "Sidang Sengketa Pilpres Dimulai: Akankah Politik Memanas Lagi?" di Kantor Formappi, Matraman, Jakarta Timur, Kamis (13/6).
Veri contoh kasus yang pernah ditangani MK terkait menyelesaikan kasus pelanggaran TSM sepeti di kasus Pilkada Kotawaringin Barat tahun 2010. Saat itu MK mendiskualifikasi pasangan calon Sugianto-Eko Soemarno karena terbukti merekrut 62, 09 persen atau 78.238 pemilih sebagi relawan.
Contoh lain, yang ia sampaikan, adalah pembatalan hasil Pilkada Jawa Timur 2008 karena terbukti ada kerjasama antara pengurus desa di tiga kabupaten dengan pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf. Alhasil, MK meminta adanya pemungutan suara ulang di Sampang, Bangkalan, dan Pamekasan.
"Terkait netralitas perlu dipahami, MK itu dipilih oleh tiga lembaga MA, Presiden dan DPR. Jika dilihat dari komposisinya pun sudah bisa terlihat jika MK bukan representasi dari pemerintah namun juga representasi dari DPR dimana disana mewakili seluruh partai politik," ujarnya.