REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadirkan Sekretaris Jenderal Kementerian Agama Nur Kholis sebagai saksi dalam sidang terhadap dua terdakwa kasus suap jual beli jabatan di Kemenag. Yaitu, Kepala Kanwil Kemenag Jatim, Haris Hasanuddin serta Kepala Kantor Kemenag Gresik Muafaq Wirahadi.
Dalam persidangan, Nur Kholis mengakui adanya intervensi yang dilakukan oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saifudin dalam proses seleksi jabatan pimpinan tinggi di Kementerian Agama lantaran semua proses seleksi selalu ia laporkan ke Lukman. Diketahui, Nur Kholis menjabat sebagai Ketua Panitia Seleksi saat itu.
Hal tersebut ia ungkapkan saat Jaksa KPK menanyakan ihwal proses seleksi yang dilakukan termasuk adanya rekomendasi yang diberikan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) ihwal adanya dua calon yang tidak memenuhi syarat yakni Anshori dan Haris Hasanuddin.
Nur Kholis menerangkan, dalam proses seleksi ada panitia seleksi untuk uji kompetensi dan ada panitia pelaksana administrasi. Menurut Nur Kholis ada sekitar 66 nama yang lolos seleksi. Dari hasil seleksi nanti akan ada tiga nama yang nantinya akan dipilih oleh Menteri Agama untuk mengisi 14 formasi yang ada.
Saat dirinya menyampaikan calon untuk Kakanwil Jawa Timur, menurut Nur Kholis, Lukman cenderung untuk merekomendasikan Haris masuk ke tiga besar. "Beliau (Lukman) katakan, dari sekian calon, saya hanya kenal Haris. Saya sudah tahu kompetensinya karena menjabat Plt Kakanwil," ujar Nur Kholis di ruang sidang Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (12/6).
Jaksa KPK Wawan Yunarwanto pun menanyakan apakah Nur Kholis menyampaikan kepada Lukman ihwal rekam jejak dari Haris. Menjawab pertanyaan Jaksa KPK, Nur Kholis, mengaku telah memberitahu Lukman bahwa nilai hasil seleksi Haris rendah dan tidak cukup untuk menempati tiga besar peserta seleksi.
Namun, menurut Nur Kholis, Lukman tetap memerintahkan agar Haris dimenangkan. "Waktu itu saya bilang nilainya enggak sampai. Kalau ditotal hanya urutan ke 4. Beliau (Lukman) beri masukan untuk jadi 3 besar. Itu sebelum panitia menggelar pleno," kata Nur Kholis.
Kepada Lukman, Nur Kholis bahkan memberi tahu adanya rekomendasi dari KASN terkait rekam jejak yang kurang baik dari Haris. "Dari KASN ada dua nama Anshori dan Haris Hasanudiin untuk tidak melanjutkan. Saya terus melapor ke beliau (Lukman Hakim) dan beliau (Lukman Hakim) mengatakan ingin mendalami dan kedua dalam beberapa kesempatan beliau (Lukman Hakim) sudah memiliki kecenderungan memilih saudara Haris sebagai Kakanwil Jawa Timur," tutur Nur Kholis.
Jaksa KPK pun menanyakan kembali, bagaimana tanggapan dari Panitia Pelaksana ihwal rangking tersebut. "Tidak mungkin, kami punya kebijakan berbeda dengan pimpinan lalu saya komunikasikan dengan tiga panitia lain, saya demi Allah mengatakan yang sebenarnya ketika ada perintah pimpinan, Haris masuk tiga besar dengan nilai belum mencapai, pak Hasan (panitia lainnya) mengatakan pak Sekjen saya anggota, anggota di bawah ketua, ketua di bawah pimpinan kalau pimpinan mau masukin ketiga besar ya kita bisa apa," tutur Nur Kholis lagi.
Jaksa pun menanyakan, bagaimana cara yang dilakukan agar bisa menaikan ranking Haris. " Dua orang sudah rela, saya minta ke kepala biro kepegawaian diakomodir agar ini bisa masuk, saya kebetulan belum kasih nilai makalah dan saya kasih nilai makalah lebih tinggi dari yang lain dan lainnya diselesaikan di level panitia pelaksana," terang Nur Kholis.
Mendengar jawaban Nur Kholis, Jaksa kembali menanyakan, perintah terhadap memasukan Haris ke urutan tiga besar apakah hanya dirinya atau ke panitia lainnya juga. Nur Kholis pun menjawab perintah tersebut hanya kepada dirinya
"Hanya ke saya karena saya ketua dan ke saya," ujarnya.
Sebelumnya, Lukman Hakim Saifuddin disebut telah menerima Rp 70 juta dari mantan kakanwil Kemenag Jawa Timur Haris Hasanuddin. Pemberitaan tersebut didasarkan pada dakwaan untuk terdakwa Haris Hasanudin yang dibacakan pada persidangan yang terbuka untuk umum pada 29 Mei 2019 di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Disebutkan bahwa pada 1 Maret 2019 di Hotel Mercure Surabaya, terdakwa memberikan Rp 50 juta kepada Lukman. Selanjutnya, pada 9 Maret 2019, bertempat di Tebu Ireng, Jombang, terdakwa memberikan lagi uang kepada Lukman sejumlah Rp 20 juta.
Namun, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin membantah keras terkait penerimaan uang Rp 70 juta dari Haris Hasanudin yang ingin mendapatkan jabatan sebagai kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Jawa Timur. Menurut Lukman, dirinya sama sekali tidak pernah menerima uang yang disebut Haris tersebut.
Lukman pun mengaku terkejut dengan adanya berita yang bersumber dari hasil persidangan dakwaan yang dibacakan jaksa terhadap kasus terdakwa Haris tersebut. "Saya sungguh sama sekali tidak pernah menerima sebagaimana yang didakwakan itu. 70 juta rupiah dalam dua kali pemberian katanya menurut pemberian, 20 juta dan 50 juta. Saya tidak pernah mengetahui, apalagi menerima adanya hal seperti itu," ujar Lukman saat ditanya usai sidang itsbat di Auditorium HM Rasjidi, Kementerian Agama, Senin (3/6).
Lukman menegaskan, saat melakukan kunjungan kerja ke Surabaya pada 1 Maret 2019, dia tidak pernah menerima pemberian dalam bentuk apa pun dari Haris, apalagi pemberian berupa uang sejumlah Rp 50 juta.
"Saat itu juga tidak ada pertemuan khusus dengan Haris. Saya hanya ke ruang transit hotel bersama beberapa pegawai dari jajaran kanwil sekitar 10 menit sebelum acara dimulai. Dari situ langsung mengisi acara. Selesai acara, saya langsung meninggalkan hotel," ujar Lukman.
Lukman mengatakan, pada 9 Maret 2019 di Tebu Ireng Jombang, Haris memang memberikan uang sejumlah Rp 10 juta, bukan Rp 20 juta. Namun, kata dia, uang tersebut diberikan Haris kepada ajudannya, bukan kepada dirinya langsung.
Menurut Lukman, maksud dan tujuan Haris memberikan uang tersebut kepada ajudannya itu pun tidak jelas. Ketika hal itu ditanyakan oleh ajudannya, Haris hanya mengatakan bahwa uang itu sebagai honorarium tambahan.
Lukman pun kemudian memerintahkan kepada ajudannya untuk mengembalikan uang itu pada 9 Maret malam kepada Haris. Namun, menurut Lukman, ajudannya tidak pernah punya kesempatan bertemu dengan Haris yang tinggal di Surabaya, sehingga terjadilah OTT pada 15 Maret 2019.
"Akhirnya, uang tersebut dilaporkan ke KPK pada 26 Maret 2019. Pelaporan uang Rp 10 juta itu sebagai bentuk komitmen saya terhadap pencegahan tindak gratifikasi," kata Lukman.