REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Bagan pemisahan alur laut atau Traffic Seperation Scheme (TSS) di Selat Sunda dan Selat Lombok resmi diberlakukan secara penuh di Juni 2020. Hal ini menyusuli hasil sidang International Maritime Organization (IMO) Maritime Safety Committee (MSC) ke 101 yang berlangsung di Markas Besar IMO, London Inggris, Senin (10/6).
Direktur Jenderal Perhubungan Laut R Agus H Purnomo selaku Head of Delegation (HoD) Indonesia dalam sidang IMO MSC ke 101 tersebut mengungkapkan rasa bersyukurnya atas diadopsinya proposal TSS di Selat Sunda dan Selat Lombok oleh IMO setelah sebelumnya selama dua tahun lebih Indonesia memperjuangkan proposal tersebut.
"Alhamdulillah, pada agenda 11 sidang IMO MSC ke 101 ini, secara resmi IMO mengadopsi proposal TSS di Selat Sunda dan Selat Lombok yang akan diberlakukan 1 tahun kedepan, tepatnya di bulan Juni 2020," ujar Agus di London, Inggris dalam keterangannya yang diterima Republika.co.id, Senin (10/6).
TSS Selat Sunda dan Selat Lombok, sah berlaku Juni 2020. (Foto: Humas Ditjen Hubla)
Dengan demikian, Indonesia menjadi negara kepulauan (archipelagic state) pertama di dunia yang memiliki bagan pemisahan alur laut atau Traffic Separation Scheme (TSS) di alur laut kepulauan Indonesia.
Agus mengatakan, perjuangan Indonesia dari sejak persiapan, pengusulan proposal TSS di Selat Sunda dan Selat Lombok hingga akhirnya diadopsi dalam Sidang IMO MSC ke 101 tentunya bukan hal yang mudah dicapai karena perjalanan Indonesia dalam mengawal dari mengusulkan proposal TSS kepada IMO hingga diimplementasikan sangat panjang.
Perjalanan panjang selama lebih dua tahun untuk melakukan persiapan melalui tahapan-tahapan yang tidak mudah dan menyita perhatian serta waktu yang lama untuk pengajuan proposal TSS Selat Sunda dan Selat Lombok ke IMO merupakan bukti keseriusan Indonesia untuk berperan aktif di bidang keselamatan dan keamanan pelayaran dunia serta perlindungan lingkungan maritim khususnya di wilayah perairan Indonesia.
Sebelumnya, kata Agus, Indonesia bersama Malaysia dan Singapura telah memiliki TSS di Selat Malaka dan Selat Singapura. Namun TSS di Selat Malaka dan Selat Singapura tersebut berbeda pengaturannya mengingat dimiliki oleh 3 (tiga) negara sedangkan TSS di Selat Sunda dan Selat Lombok hanya Indonesia yang memiliki wewenang untuk pengaturannya. Hal ini yang menjadikan Indonesia sebagai negara kepulauan pertama di dunia yang memiliki TSS melalui pengesahan oleh IMO dan berada di dalam ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) I dan ALKI II.
"Indonesia bersama Fiji, Papua Nugini, Bahama, dan Filipina merupakan 5 (lima) negara berdaulat yang tertuang dalam UNCLOS 1982 sebagai negara yang memenuhi syarat sebagai negara kepulauan," kata Agus.
Terkait dengan ALKI, Agus mengatakan, ALKI merupakan alur laut di wilayah perairan Indonesia yang bebas dilayari oleh kapal - kapal internasional (freedom to passage) sebagaimana yang tertuang dalam UNCLOS 1982.
"Sehingga dengan dipercayainya Indonesia oleh IMO untuk mengatur TSS di Selat Sunda dan Selat Lombok yang juga merupakan ALKI tersebut menunjukan peran aktif Indonesia dalam bidang keselamatan dan keamanan pelayaran internasional serta memperkuat jati diri Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia," ujar Agus.
Agus mengatakan, dengan hasil Sidang IMO MSC ke-101 memutuskan untuk mengadopsi TSS di Selat Sunda dan Selat Lombok, tentunya akan menjadi bekal dan prestasi Indonesia dalam upaya pencalonan kembali Indonesia sebagai negara anggota Dewan Council IMO kategori C untuk periode 2019 - 2020 melalui sidang Majelis / Assembly IMO Assembly pada bulan November-Desember 2019.
Agus juga mengingatkan agar setelah nanti TSS di Selat Sunda dan Selat Lombok tersebut resmi diadopsi dalam sidang IMO MSC ke-101, tugas berat telah menanti untuk diselesaikan Indonesia mengingat IMO terus memonitor pelaksanaan dan implementasi TSS di kedua selat tersebut.
"Pemerintah Indonesia masih memiliki kewajiban yang harus dilaksanakan, antara lain melakukan pemenuhan sarana dan prasarana penunjang keselamatan pelayaran di area TSS yang telah ditetapkan, meliputi Vessel Traffic Services (VTS), Stasiun Radio Pantai (SROP), Sarana Bantu Navigasi Pelayaran (SBNP), SDM Pengelola Stasiun VTS, serta peta elektronik yang terkini dan menjamin operasional dari perangkat-perangkat penunjang keselamatan pelayaran tersebut selama 24 jam 7 hari," ujarnya.
Pemerintah Indonesia juga wajib mempersiapkan regulasi, baik lokal maupun nasional terkait dengan operasional maupun urusan teknis dalam rangka menunjang keselamatan pelayaran di TSS yang telah ditetapkan, serta melakukan koordinasi dan konsolidasi dengan para instansi dan stakeholder terkait dengan penetapan TSS tersebut.