REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Mabes Polri menjelaskan soal dugaan aksi pemukulan yang dilakukan sejumlah anggota satuan Brimob Nusantara terhadap salah satu terduga perusuh di Tanah Abang, Jakarta Pusat (Jakpus). Juru Bicara Mabes Polri Brigjen Dedi Prasetyo mengindikasikan adanya kesalahan prosedur (SOP) penindakan yang dilakukan para personel Brimob Nusantara saat kejadian tersebut.
Kata Dedi, pengakuan Mabes Polri kali ini terkait dengan video viral tentang pemukulan dan penyiksaan yang terjadi di lapangan masjid Al-Huda di Kampung Bali Tanah Abang, Jakpus, yang terjadi pada Kamis (23/5). Dalam video tersebut, sekitar enam personel berseragam Brimob Nusantara, diduga melakukan kekerasan terhadap seorang bernama Andri.
“Terkait hal (aksi tersebut), Mabes Polri sudah menurunkan Propam. Propam nantinya akan bekerja meminta keterangan dari saksi-saksi termasuk pelaku kerusuhannya,” begitu kata Dedi saat konfrensi pers di Kemenko Polhukam, Merdeka Barat, Jakpus, Sabtu (25/5). Dedi meyakinkan, kerja kepolisian internal Polri, akan independen dalam pengungkapan aksi main hakim sendiri para personelnya tersebut.
“Polri akan profesional. Dan akan mengambil tindakan tegas kepada anggota kami, yang bekerja tidak sesuai dengan SOP,” sambung Dedi. Meski demikian, Dedi belum mau menerka-nerka bentuk sanksi apa yang akan mengancam personelnya itu. Yang pasti, kata Dedi, profesionalitas Polri, menjamin adanya penyelidikan dan penyidikan internal terkait dugaan pelanggaran prosedural penanganan pelaku kerusuhan.
Terkait Andri sendiri, Dedi menerangkan ikut diperiksa. Andri kata Dedi mengakui ikut dalam kerusuhan yang terjadi di Tanah Abang. Karena itu, Polri pun menetapkan laki-laki 25-an tahun tersebut ditetapkan sebagai tersangka kerusuhan. “Yang sedang ditindak bernama Andir Bibir saat ini statusnya tersangka. Karena yang bersangkutan ikut terlibat dalam kerusuhan,” sambung Dedi.
Kata Dedi, Andri terlibat sebagai orang yang membantu para perusuh dengan menyuplai batu-batu, dan benda-benda keras lain, termasuk petasan kepada para pelaku kerusuhan lainnya yang ada di sekitar lokasi kerusuhan. Benda-benda tersebut, dijadikan amunisi perusuh lainnya, untuk melempari petugas. “Kejadian itu atas prakarsa beberapa orang. Salah satunya A ini,” sambung Dedi.
Andri sendiri, dihadapkan dalam konfrensi pers tersebut. Dengan tangan terikat dan beberapa bagian muka yang diperban, ia mengakui perbuatannya ikut terlibat kerusuhan. “Iya itu saya yang dalam video,” ujar dia, Sabtu (25/5). Ia menerangkan, main hakim sendiri para personel Brimob Nusantara itu karena dirinya berusaha melarikan diri saat hendak ditangkap. “Saya sempat mau melariakan diri ke belakang. Tetapi sudah ada Brimob banyak, dan akhirnya saya ditangkap,” kata dia menambahkan.
Di kawasan SCBD Sudirman Jakarta Selatan (Jaksel) 10 mantan komisioner Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas) HAM melangsungkan konfrensi pers menanggapi situasi kekerasan dan kerusuhan yang terjadi pada malam 21, 22, dan 23 Mei. Salah satu mantan Komisioner Komnas HAM Imdadun Rahmat mengatakan, pengakuan dari Mabes Polri terkait kesalahan prosedur terhadap perusuh bisa diindikasikan adanya pelanggaran hukum.
“Apa yang dilakukan oleh kepolisian terhadap perusuh, memang adalah penegakan hukum. Tetapi, dalam penegakan hukum itu, juga tidak boleh melanggar hukum, dan norma-norma kemanusian dan hak asasi manusia (HAM),” ujar dia. Karena itu, Imdadun meminta agar proses investigasi internal di kepolisian dapat profesional. Sehingga dapat memberikan kepastian hukum.
Para komisioner Komnas HAM juga meminta agar ada proses hukum yang terang terkait kerusuhan beruntun yang terjadi pada 21,22,23 Mei lalu. “Terlepas dari siapa pun. Baik dari pelaku kerusuhan, ataupun dari pihak kepolisian yang melanggar hukum, harus mendapatkan proses hukum yang benar,” kata mantan Komisioner Komnas HAM Roichatul Aswidah. Para mantan komisoner, pun meminta agar elite politik berusaha menjalin komunikasi untuk menentramkan situasi. Karena kerusuhan tersebut, tak lepas dari konstelasi politik yang terjadi setelah Pilpres 2019.
Kerusuhan beruntun malam itu, buntut dari aksi Kedaulatan Rakyat yang terjadi pada 21 dan 22 Mei siang, menolak hasil Pilpres 2019 di Simpang Sarinah, depan Gedung Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Aksi Kedaulatan Rakyat ketika itu, berlangsung damai. Pada 21 Mei, aksi menolak hasil pilpres berlangsung tertib dan damai sejak siang sampai sekitar pukul 21:00 WIB. Bahkan massa aksi dengan para personel Brimob dan TNI melangsungkan buka puasa bersama, shalat Maghrib, Isya, dan Taraweh berjamaah.
Tetapi, usai massa bubar, sekitar pukul 23:00 WIB, kerumunan massa yang masih ada, memaksa kericuhan. Kerusuhan malam itu, meluas sampai ke Tanah Abang, Petamburan, dan kawasan Slipi, Jakarta Barat (Jakbar), sampai kesesokan paginya (22/5). Enam orang meninggal dunia dalam kerusuhan tersebut. Empat di antaranya meninggal akibat peluru. Lebih dari 200 orang dilarikan kerumah sakit lantaran terkena hantaman benda tumpul.
Pada 22 Mei, aksi Kedaualatan Rakyat berlanjut di tempat yang sama, Simpang Sarinah. Aksi hari kedua juga damai dan tertib sampai massa bubar, setelah buka puasa bersama, dan shalat Maghrib berjamaah dengan para petugas Polri dan TNI.
Akan tetapi, usai massa Kedaulatan Rakyat bubar, sekitar pukul 18:37 WIB, kerumunan massa yang tertinggal kembali membuat kerusuhan. Kerusuhan malam itu mencapai puncaknya sekitar pukul 22:03 WIB sampai ganti hari, Kamis (23/5). Dari dua malam kerusuhan itu, delapan orang meninggal dunia. Lebih dari 700 orang, pun mengalami luka-luka . Sampai hari ini, situasi di lokasi-lokasi kerusuhan, sudah kondisif. Namun dalam status siaga tinggi.