Selasa 21 May 2019 18:44 WIB

Pengamat: Setelah Fase II, Tarif MRT Bisa Disesuaikan

Tarif transportasi tidak bisa dibuat permanen

Rep: Mimi Kartika/ Red: Esthi Maharani
Sejumlah masyarakat menunggu kereta MRT (Mass Rapid Transit) di stasiun Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Senin (13/5).
Foto: Fakhri Hermansyah
Sejumlah masyarakat menunggu kereta MRT (Mass Rapid Transit) di stasiun Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Senin (13/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Forum Transportasi Perkeretaapian Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Aditya Dwi Laksana mengatakan, tarif transportasi umum bisa disesuaikan dengan perkembangan. Termasuk dengan tarif Moda Raya Terpadu (MRT) Jakarta.

"Menurut saya tarif itu tidak bisa dibuat permanen, tarif itu dibuat fleksibel sesuai perkembangan," ujar Aditya saat dihubungi Republika, Selasa (21/5).

Ia menjelaskan, perkembangan itu diantaranya nilai inflasi tahun ini dibandingkan tiga tahun atau bahkan saat MRT Fase II rampung dan mulai beroperasi. Selain itu, perkembangan integrasi antarmoda transportasi umum di Ibu Kota kedepannya. Menurut Aditya, kedua hal itu bisa menjadi faktor penetapan tarif.

Ia mengatakan, Pemprov DKI juga perlu melakukan evaluasi terhadap pemberlakuan tarif MRT saat ini. Sebab, tarif angkutan umum fleksibel, artinya tarif sekarang yang ditetapkan kemungkinan berubah di tahun berikutnya. Aditya mencontohkan, tarif kereta rel listrik (KRL) saat baru beroperasi hingga sekarang sangat dinamis. Ia menceritakan, bahkan tarif KRL pernah tidak subsidi.

Hingga akhirnya pemerintah mensubsidi tarif KRL yang beroperasi di Jabodetebek tersebut. Kemudian tarif juga pernah berubah berdasarkan jumlah stasiun yang ditempuh dan jarak kilometer.

Menurutnya, anggaran dasar belanja daerah (APBD) DKI Jakarta juga bisa meningkat kemudian. Sehingga bisa memengaruhi besaran subsidi atau public service obligation yang disalurkan. Kemudian bisa menentukan besaran tarif MRT yang berlaku bagi masyarakat.

"Jadi saya berpikir tiga tahun lagi nanti kita lihat lagi seberapa jauh perkembangan satu tingkat inflasi, dua ketersediaan APBD-nya seberapa kuat," kata Aditya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement