Sabtu 18 May 2019 04:57 WIB

People Power, Gerakan yang 'Dipaksa' Layu Sebelum Berkembang

Amien Rais dkk mengganti people power dengan Gerakan Kedaulatan Rakyat.

Andri Saubani
Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Andri Saubani*

Politikus senior sekaligus pendiri Partai Amanat Nasional (PAN), Amien Rais hadir di Rumah Perjuangan, Menteng, Jakarta, Jumat (17/5). Bersama kolega yang tergabung dalam Kelompok Masyarakat Peduli Pemilu Adil dan Berintegritas (MPPAB), Amien mendeklarasikan Gerakan Kedaulatan Rakyat, pengganti dari gerakan yang awalnya dilanggamkan sebagai people power.

Ujaran people power pertama kali memang keluar dari mulut Amien, saat dirinya berorasi dari atas mobil komando aksi demonstran di depan kantor KPU pada 1 Maret. Kala itu, pemilu masih berjarak lebih dari sebulan, namun Amien dengan keras mengingatkan KPU agar bertindak jujur, adil dan menghindari kecurangan dalam pemilu. Kalau tidak, kata Amien, tak perlu lagi menempuh jalur ke Mahkamah Konstitusi, tapi langsung mengerahkan people power.

Diksi people power yang tidak pernah dijelaskan definisinya oleh Amien itu kemudian bergulir liar dibumbui tafsir senada yakni, suatu gerakan inkonstitusional di luar koridor hukum. Belakangan, people power versi Amien semakin mengalami penurunan makna dan citra lantaran disamakan sebagai upaya menggulingkan kekuasaan yang sah, alias makar.

Advokat Eggi Sudjana juga menjadi bagian dari kubu pendukung pasangan Prabowo-Sandi seperti Amien, menjadi orang pertama yang terkena getah diksi people power. Berbeda dengan Amien yang baru pada tahap dilaporkan ke kepolisian, Eggi saat ini sudah berstatus tersangka makar dan ditahan di Polda Metro Jaya.

Pada hari Eggi tiba di Polda Metro Jaya pada Senin (13/5) untuk diperiksa dan kemudian ditahan, Eggi berdalih bahwa, inspirasi people power justru berasal dari era 2014 saat kontestasi pilpres dengan dua pasangan calon, yakni Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla. Ia merujuk sebuah buku berisi tentang gerakan people power yang mengantarkan Jokowi ke puncak kekuasaannya sekarang.

Buku yang dimaksud Eggi tentunya adalah buku hasil tulisan dua penulis Bimo Nugroho dan M.Yamin Panca Setia yang terbit beberapa tahun silam. Isi buku itu memang mengupas fenomena gerakan rakyat yang saat itu secara total mendukung Jokowi lewat cara yang demokratis lewat Pilpres 2014. Kemenangan Jokowi dinilai penulis sebagai puncak transisi demokrasi dari kekuasaan yang dikuasai elite kepada kedaultan rakyat.

Jika dibandingkan dengan narasi orasi Eggi rekaman videonya viral, konteks people power dalam buku di atas tentunya berbeda. People power yang dimaksud Eggi adalah sebagai bentuk protes keras terhadap KPU yang dianggapnya telah berbuat curang dalam Pemilu 2019 ini. Namun, protes keras Eggi itu kemudian dinilai sebagai bentuk provokasi dan ajakan berbuat makar sampai akhirnya dia dipolisikan.

Citra ujaran people power kini sudah begitu mengerikan. Sifatnya sudah semakin peyoratif sebagai ilustrasi ancaman negara dalam keadaan gawat. Para penyerunya seperti Amien Rais, Ustaz Bachtiar Nasir hingga Habib Rizieq Shihab yang masih berada di Arab Saudi sudah dipolisikan. 

Imbauan penolakan dari para tokoh, akademisi, hingga lembaga seperti MUI atas gerakan people power sepekan terakhir bergelombang datang dari berbagai daerah. Pemerintah, khususnya lewat Menko Polhukam Wiranto bahkan sampai membentuk suatu tim khusus yang memantau, membahas ujaran para tokoh yang dinilai menyerukan ajakan yang mengarah kepada tindakan inkonstitusional.

Mabes Polri tak absen ikut mengingatkan, bahwa aksi massa pada 22 Mei rawan ditunggangi oleh teroris yang berniat melaksanakan aksi teror (amaliah) meski sebenarnya tidak ada sangkut pautnya dengan politik (Pemilu 2019). Puluhan terduga teroris telah ditangkap Densus 88, yang salah satunya lewat rekaman video, mengungkap niatan menunggangi aksi massa pada 22 Mei.

Amien Rais sebagai penggagas people power seperti ‘dipaksa’ untuk tidak merealisasikan idenya itu. Namun Amien dkk bergeming, karena telanjur telah menilai ada kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif pada Pemilu 2019. Diksi people power kemudian digantinya dengan nama Gerakan Kedaulatan Rakyat yang tetap berencana mengerahkan aksi massa turun ke jalan menjelang hingga penetapan hasil Pemilu 2019 oleh KPU pada 22 Mei mendatang.

"Karena itu sekarang terjadi ramalan saya itu, saya katakan people power saat itu rupanya petahana dan rezimnya itu ngeri people power, kok bahasa asing, kita ganti dengan Gerakan Nasional Kedaulatan Rakyat," kata Amien.

*penulis adalah jurnalis Republika

Advertisement

Komentar

Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement