REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Medical Emergency Rescue Committe (MER-C) berencana menuntut KPU ke salah satu badan PBB, United Nations Human Rights Commission (UNHRC). Alasannya, MER-C menganggap KPU tak serius menangani wafat dan sakitnya petugas pemilu.
Pendiri MER-C, Joserizal Jurnalis mengatakan saat ini belum melaporkan ke KPU karena berkasnya tengah disusun. MER-C sekaligus menunggu keseriusan KPU usai MER-C menyatakan sikap dalam konferensi pers pada Rabu, (16/5). Bila KPU tidak menunjukkan itikad baik, MER-C bakal secepatnya mengajukan gugatan.
"Ada pembiaran jatuhnya korban manusia yang jadi tanggungjwbnya. Ini lah yang kami ajukan ke UNHRC. Masih proses belum diajukan," katanya pada wartawan.
Jose mengatakan pihaknya memiliki jaringan pengacara di Swiss dan Belanda yang bisa membantu proses hukum. Ada dua langkah gugatan, ke International Crime Justice (ICJ) di Den Haag dan UNHCR.
"Mekanismenya dibawa ke Jenewa dan Den Haag. Mana yang digunakan tergantung lawyer. Ke UNHCR masuk yang penting," ujarnya.
Hanya saja, ia menyebut sanksi yang diberikan kedua lembaga di atas bukan berupa pemenjaraan. Melainkan sebatas penjatuhan sanksi atau citra buruk dari dunia internasional.
"Bisa dapat hukuman dunia internasional. Diarahkan ke KPU. Bukan pemenjaraan. Pemerintah bisa kena juga kalau enggak concern," ucapnya.
Ia menyatakan gugatan ke lembaga internasional bukan baru pertama dilakukan oleh MER-C. Lembaga kemanusiaan itu pernah menggugat Israel dalam tragedi penyerangan pada kapal Mavi Marmara yang membawa bantuan bagi warga Palestina. Buntutnya, MER-C memperoleh kemenangan karena Israel dijatuhi sanksi.
"Kami pernah gugat dari kasus Mavi Marmara. Hasilnya panglima Israel dilarang keluar Israel. Ini enggak main-main," tegasnya.
Sebelumnya, KPU masih menunggu hasil investigasi yang dilakukan Kementerian Kesehatan terkait penyebab banyaknya petugas pemilu yang meninggal ini. Komisioner KPU Ilham Saputra mengatakan, selain dari Kemenkes, investigasi juga dilakukan sejumlah lembaga di luar KPU. Ilham berdalih KPU tidak mempunyai kapasitas untuk memastikan penyebab kematian KPPS maupun petugas lain yang meninggal.
"Kemenkes sudah bekerjasama dengan KPU. Kemudian Komnas HAM juga sudah melakukan, beberapa lembaga juga sudah melakukan. Jadi, prinsipnya kita tunggu hasilnya seperti apa," ujar Ilham di kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (10/5).
KPU mengklaim, hasil investigasi sejumlah lembaga terkait penyebab meninggalnya petugas pemilu diperlukan untuk mencegah tudingan ada rekayasa dalam peristiwa kematian para KPPS ini. Menurut dia, hal tersebut juga bisa menjadi bahan evaluasi di kemudian hari.
"Apakah kami tidak ingin bilang bahwa kemudian ada rekayasa dan sebagainya karena kami memang tidak melakukan apa pun. Mari kita evaluasi bersama nanti setelah pemilu ini tahapannya selesai," tegasnya.
KPU menolak disebut tidak memperhatikan petugas KPPS yang tertimpa musibah. Ilham mengatakan, salah satu upaya KPU memperhatikan KPPS yang tertimba musibah adalah dengan memberikan santunan. Namun, menurut dia, tidak boleh hanya berhenti pada santunan.
"Artinya bukan kita selesaikan hanya dengan santunan, tidak. Tetapi, kemudian mari kita evaluasi pemilu serentak ini bersama-sama. Teman-teman kami sudah bekerja keras sampai ada yang meninggal dunia," ujarnya.