REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- Calon legislatif (caleg) DPD dapil NTB nomor urut 26, Evi Apita Maya, menjadi buah bibir setelah berhasi meraih suara tertinggi. Kemenangan Evi mengejutkan banyak pihak bahkan hingga muncul tudingan Evi tidak menggunakan foto aslinya atau foto terbaru pada surat suara.
Berdasarkan rapat pleno terbuka rekapitulasi dan penetapan hasil penghitungan suara tingkat Provinsi NTB pada Senin (13/5), Evi Apita Maya menduduki raihan suara terbanyak dengan 283.932 suara. Kemudian, disusul Achmad Sukisman Azmy dengan 268.905 suara, TGH Ibnu Halil sebanyak 245.570 suara, dan Lalu Suhaimi Ismy sebanyak 207.352.
Hanya Lalu Suhaimi Ismy, pejawat DPD dapil NTB yang kembali menduduki kursi DPD. Sementara tiga pejawat lainnya seperti Farouk Muhammad, Baiq Diyah Ratu Ganefi, dan Robiatul Adawiyah, kalah raihan suara dengan pendatang baru. Farouk Muhammad hanya berhasil meraih 188.687 suara, sedangkan Baiq Diyah Ratu Ganefi sebanyak 126.811 suara, dan Robiatul Adawiyah sebanyak 114.534 suara.
Tudingan ini datang dari saksi calon legislatif (caleg) pejawat DPD RI dapil NTB nomor urut 27, Farouk Muhammad, Oni Al Jufri, melalui formulir DC2 KPU atas hasil rekapitulasi yang dibacakan anggota KPUD NTB Syamsudin. Saksi Farouk Muhammad menyampaikan keberatan terhadap dugaan politik uang, pelanggaran penggunaan logo DPD RI, hingga penggelembungan suara yang dilakukan caleg DPD RI nomor urut 26 atas nama Evi Apita Maya di Kabupaten Lombok Tengah dan dugaan penggelembungan suara yang dilakukan caleg DPD RI nomor urut 29 atas nama TGH Ibnu Halil di Lombok Tengah.
Selain itu, saksi Farouk juga menduga Evi Apita Maya melakukan pemalsuan dokumen foto sebagai persyaratan administrasi sebagai caleg DPD. Saksi Farouk menilai foto yang ditampilkan Evi merupakan foto lama yang membuat banyak warga memilih berdasarkan fotonya yang dinilai cantik.
"Semestinya berdasarkan peraturan, bakal calon harus menggunakan foto terbaru, maksimal foto 6 bulan sebelum pendaftaran di KPU," ujar Syamsudin membacakan keberatan saksi Farouk saat rapat pleno terbuka rekapitulasi dan penetapan hasil penghitungan suara tingkat Provinsi NTB di Hotel Lombok Raya, Mataram, NTB, Senin.
Foto caleg DPD NTB Evi Apita Maya yang dituding tidak sesuai asli.
Ketua KPUD NTB Suhardi Soud mengatakan keberatan tersebut tidak tepat jika dilakukan pada masa rekapitulasi lantaran lebih tepat jika dilakukan saat masa pencalonan. Suhardi menilai tidak ada pelanggaran terkait penggunaan foto oleh Evi Apita Maya lantaran foto tersebut benar foto Evi. Meski begitu, KPUD NTB tetap menyertakan keberatan tersebut dalam lampiran hasil rapat pleno terbuka rekapitulasi dan penetapan hasil penghitungan suara tingkat Provinsi NTB.
"KPU (NTB) sudah sesuai mekanisme. Kenapa kita tetapkan (Evi) sebagai calon karena memang itu fotonya dia dan dia menyatakan itu foto dia dan diparaf, itu sah," kata Suhardi.
Strategi Milenial Gaet Suara Pemilih
Tim Evi tidak ambil pusing atas tudingan tersebut. Liaison Officer (LO) atau pengubung Evi Apita Maya, Marwan (32), mengatakan protes yang diajukan tim Farouk sudah telat.
"Seharusnya mereka protes sebelum pengumpulan syarat para calon. Kalau sekarang sudah basi, bahkan hanya bentuk kekcewaan karena kalah, diketawain sama orang juga," ujar Marwan saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (15/5).
Lagipula, kata Marwan, foto yang terpampang di surat suara memang foto asli dan foto terbaru Evi sesuai dengan aturan yang menyebutkan foto yang dicantumkan paling lambat enam bulan sebelum pendaftaran.
Perihal banyak masyarakat yang memilih Evi lantaran dinilai paling cantik, Marwan menilai hal itu merupakan strategi semata. Marwan tak menampik banyak masyarakat yang memilih Evi lantaran fotonya yang cantik.
Marwan menjelaskan awal mula pemilihan foto Evi tak lepas dari hasil kajian tim pemenangan Evi yang diisi para milenial dengan rentang usia sekira 30 tahun dan tersebar di seluruh NTB. Marwan menyebutkan tim pemenangan dan relawan Evi yang mayoritas diisi anak-anak muda bekerja dengan solid dan militan. Hal ini yang kerap diabaikan para kompetitor.
Kendati begitu, lanjut Marwan, tim Evi tidak bisa menjangkau seluruh wilayah di NTB, terutama wilayah terpencil dengan akses yang sulit. Salah satu cara untuk menarik perhatian pemilih dengan menampilkan foto yang menarik. Kondisi ini tak lepas dari peraturan KPU yang hanya mencantumkan foto pada surat suara Pilpres dan Pileg untuk DPD.
"Banyak yang menyarankan untuk pakai foto terbaik sebagai salah satu strategi meningkatkan pemilih. Terkadang masyarakat memilih mana yang paling mencolok," kata Marwan.
Awalnya, tim Evi tidak memikirkan mencari foto yang dianggap paling cantik, melainkan foto yang menurut tim dan Evi sendiri sebagai foto terbaik dan menarik. Dari sekian banyak sesi pemotretan jelang pendaftaran, foto tersebut yang kemudian dipilih. Marwan mengatakan editing foto juga dilakukan untuk meningkatkan kualitas foto. Menurut Marwan, semua tim juga melakukan editing untuk menampilkan calon yang menarik perhatian pemilih.
"Saya rasa caleg yang ditampilkan di kertas suara tidak ada foto tanpa editan," ucap Marwan.
Marwan mengaku tim Evi tidak berkewajiban menjawab protes dari tim lain mengingat hal tersebut merupakan ranah KPU. Menurut Marwan, KPU juga sudah terang menjawab tidak ada pelanggaran pemalsuan dokumen foto yang dilakukan Evi.
Justru Marwan menyoroti adanya dua foto yang ditampilkan dan beredar di media sosial. Dua foto tersebut merupakan foto Evi dalam surat suara dan foto satunya ialah foto Evi yang menggunakan busana serba putih. Kata Marwan, narasi yang disebarkan dalam foto tersebut seolah-olah Evi dalam surat suara berbeda dengan Evi aslinya.
"Foto Ibu Evi dengan baju putih itu foto (tahun) 2010, dan beliau habis melahirkan. Bisa dicek di FB Evi Apita Maya tertera tanggalnya di situ. Mungkin sengaja dibuat (di media sosial), apa maksudnya saya tidak tahu," kata Marwan menambahkan.