Selasa 14 May 2019 08:55 WIB

PT MRT: Penumpang Tetap Ramai

Warga minta konektivitas antarmoda ke luar Jakarta diperluas

Rep: Mimi Kartika/ Red: Bilal Ramadhan
Sejumlah masyarakat menaiki kereta MRT (Mass Rapid Transit)  di stasiun Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Senin (13/5).
Foto: Fakhri Hermansyah
Sejumlah masyarakat menaiki kereta MRT (Mass Rapid Transit) di stasiun Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Senin (13/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mulai Senin (13/5) ini, moda raya terpadu (MRT) Jakarta sudah memberlakukan tarif normal dari yang sebelumnya mendapatkan potongan 50 persen. Sehingga, tarif rendah berdasarkan tempuh stasiun sebesar Rp 3.000 sampai tarif tertinggi Rp 14 ribu untuk jarak terjauh Lebak Bulus-Bundaran Hotel Indonesia (HI).

PT MRT Jakarta menyatakan, berdasarkan observasi yang telah dilakukannya, jumlah penumpang pada hari pertama tarif normal masih ramai. "Observasi kami masih normal volume penumpang tetap ramai. Angkanya baru akan kami umumkan besok (14/5)," kata Kepala Divisi Sekretaris Perusahaan PT MRT Jakarta Muhammad Kamaluddin kepada Republika, Rabu (13/5).

Ia mengatakan, tarif MRT ditetapkan sesuai dengan Peraturan Gubernur Provinsi DKI Nomor 34 Tahun 2019 tentang Tarif Angkutan Perkeretaapian Mass Rapid Transit dan Kereta Api Ringan/Light Rail Transit. Tarif MRT terendah Rp 3.000 dan tarif tertinggi Rp 14 ribu untuk stasiun terjauh Lebak Bulus-Bundaran Hotel Indonesia (HI).

Kamal menjelaskan, pengoperasian MRT Jakarta juga telah dimaksimalkan dengan mengoperasikan secara penuh yakni 16 rangkaian kereta, dua rangkaian kereta di antaranya disediakan untuk cadangan. Ia menambahkan, //headway// atau selisih waktu keberangkatan Ratangga yakni lima menit sekali pada jam sibuk berangkat dan pulang kerja.

Di antaranya pada pukul 07.00-09.00 WIB dan 17.00-19.00 WIB. MRT akan beroperasi mulai pukul 05.00-24.00 WIB. Sementara, pintu stasiun MRT akan dibuka dan ditutup 15 menit sebelumnya.

Kamal mengatakan, pemberlakuan tarif normal tersebut sudah disosialisasikan kepada masyarakat. Melalui konten kanal media sosial, situs resmi MRT Jakarta, aktivitas program dan event MRT, disekitar koridor, konten aplikasi mobile.

Selain itu, Kamal juga mengatakan, pihaknya melakukan pengetatan keamanan di tiap-tiap pintu masuk dan keluar stasiun. Dengan mengerahkan petugas keamanan secara penuh, termasuk pengamanan dengan memastikan penumpang harus melalui pintu metal detector.

Kendati tarif MRT kembali normal, para penumpang tetap menjadikan MRT sebagai moda transportasi alternatif. Salah satunya, Destini (27 tahun), pengguna MRT Jakarta sejak beroperasi secara resmi ini tetap memilih naik MRT untuk pergi pulang kantor.

"Enggak masalah sih karena kalau saya ngincernya waktu. Jadi, selama memang worth it buat saya, enggak masalah tarif normal, lagi pula membantu banget sih," ujar Destini kepada Republika, Senin (13/5).

Sebelum ada MRT, Destini biasanya melanjutkan perjalanan dengan memesan ojek daring. Akan tetapi, tarif ojek daring masih lebih tinggi dibandingkan harus membayar tarif normal MRT sebesar Rp 3.000 untuk satu stasiun. Selain itu, menurut dia, waktu tempuh menjadi alasan utama dan menghindari kemacetan.

Destini mengatakan, rumahnya berada di daerah Bekasi, sementara kantornya di kawasan Setiabudi, Jakarta Selatan. Ia harus menggunakan kereta rel listrik (KRL) terlebih dahulu untuk sampai di Stasiun Sudirman dan melanjutkan perjalanan naik MRT di Stasiun Dukuh Atas ke Stasiun Setiabudi.

"Hanya satu stasiun, tapi kan menghindari macet. Karna kan saya dari Stasiun Sudirman naik KRL langsung ke sini, biasanya sih naik ojek tapi MRT ngebantu dari macetnya," kata dia.

Senada juga diungkapkan Haryo (38 tahun), karyawan swasta di kawasan Setiabudi asal Bintaro, Tangerang Selatan. Ia mengaku, lebih memilih MRT Jakarta meski tarifnya sudah berlaku normal.

"Enggak apa-apalah, memang lebih nyaman, sesuai, kenapa enggak, waktu tempuh hemat, terus juga mengurangi waktu kita berpanas-panasan di jalan raya," kata Haryo.

Ia juga melanjutkan perjalanan setelah sebelumnya menaiki KRL dan beralih ke MRT di Stasiun Dukuh Atas menuju Stasiun Setiabudi. Sementara ketika pulang, ia lebih memilih turun di Stasiun Lebak Bulus dan melanjutkan perjalanan dari sana untuk sampai ke rumah.

Namun, kata dia, yang perlu dibenahi ialah konektivitas angkutan umum. Ia meminta konektivitas antarmoda diperluas menjangkau wilayah permukiman hingga ke luar Jakarta. Sebab, kata dia, dari Stasiun Lebak Bulus ke Bintaro tak ada bus pengumpan Transjakarta, hanya ada angkutan perkotaan (angkot).

"Yang kurang itu adalah konektivitas dari stasiun-stasiun yang menuju ke perumahan. Jadi contohnya Lebak Bulus, ke arah Ciputat ada, tapi ke arah Bintaro enggak ada, ke arah Pamulang juga enggak ada transportasinya, kecuali angkot-angkot," tutur Haryo.

Selain itu, dari stasiun MRT ke kantornya pun ia harus mengeluarkan biaya rata-rata Rp 20 ribu-Rp 40 ribu untuk satu kali perjalanan. Bergantung jenis moda transportasi yang ia pilih saat itu.

Untuk, ia meminta selain konektivitas angkutan, integrasi pembayaran antarmoda juga perlu disediakan agar lebih efektif dan efisien. Hal itu, kata dia, sebagai keunggulan dan insentif bagi mereka yang menggunakan transportasi umum daripada kendaraan pribadi.

"Kan sudah Rp 14 ribu, adem, kita penginnya adem terus sampai rumah. Tapi ini enggak ada, belum (konektivitas antarmoda)," ujar dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement