REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menilai tudingan sejumlah pihak terkait adanya unsur kesengajaan dalam meninggalnya petugas kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) di Pemilu 2019 adalah tudingan berlebihan. Menurut JK, tidak ada motif yang masuk akal terkait tudingan meracun petugas KPPS.
"Mungkin tuduhan bahwa itu diracun itu berlebihan, saya kira. Itu dulu, motifnya apa? Mau dapat suara? Bagaimana mungkin? Jadi, tidak begitu. Segala sesuatu harus kita periksa motifnya dan memang tidak ketemu motifnya," ujar JK saat diwawancarai wartawan di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Senin (13/5).
JK juga merespons permintaan untuk dilakukan visum kepada para petugas yang gugur di tengah proses perhitungan suara pemilu. Menurut JK, hal itu sebaiknya dikembalikan kepada keluarga dari para petugas yang wafat.
"Itu terserah keluarganya, visum kan harus izin keluarga," ujar JK.
Alih-alih terdapat unsur kesengajaan, JK justru menilai meninggalnya para petugas karena terlalu lelah bekerja dalam penghitungan suara. Selain itu, JK mengacu pada pernyataan Kementerian Kesehatan yang menemukan 13 jenis penyakit penyebab meninggalnya petugas KPPS di 15 provinsi.
"Bisa dikategorikan mungkin ada 13 penyakit, ya. Mungkin yang wafat itu yang kita hargai. Semuanya atas bekerjanya. Mungkin kemudian bekerja terus-menerus lebih dari 24 jam tanpa istirahat. Nah, itu tentu gabungan daripada semua itu," kata JK.
Ia pun kembali menyoroti pelaksanaan pemilu yang dilakukan serentak antara pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan legislatif (pileg). Menurut dia, keserentakan pemilu, ditambah kerumitan sistem pileg yang terbuka, membuat para petugas bekerja ekstra dalam proses perhitungan pemilu.
"Dia harus bekerja 24 jam. Pertama karena gabungan, tapi yang paling berat sebenarnya dua sistem yang terbuka. Dengan nama pun harus dicatat sehingga butuh waktu rata-rata mereka bekerja lama sekali. Dan sebagian besar kan ruangan terbuka. Itu artinya tenda-tenda, mungkin soal makan," ujar JK.
Karena itu, pileg dan pilpres perlu dievaluasi agar tidak disatukan kembali. Selain itu, JK juga menyoroti sistem pemilu untuk anggota legislatif sebaiknya tidak lagi terbuka, tetapi tertutup.
"Kemudian jangan lagi terbuka supaya dihitung hanya partainya. Supaya partai juga memilih orangnya yang baik. Karena banyak isu tentang biaya yang besar," ujar JK.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menegaskan, meninggalnya ratusan petugas pemilu pada Pemilu 2019 bukan disebabkan oleh racun. Pernyataan tersebut sekaligus menepis hoaks di dunia maya yang menyebut petugas pemilu tewas karena diracun.
Direktur Pelayanan Kesehatan Rujukan Kemenkes Tri Hesty Widyastoeti mengatakan, pihaknya sudah mulai mendata dan memeriksa petugas pemilu yang wafat sejak Senin lalu. "Barusan kabar dari provinsi, dari Jabar ternyata tidak (diracun). Kami ada hak-hak dari pasien, keluarganya ada penyebab yang tidak bisa disebutkan. Tapi yang diracun dipastikan tidak ada," katanya pada wartawan usai diskusi di kantor PB IDI, Senin (13/5).
Walau begitu, ia belum bisa memastikan penyebab meninggalnya per pasien secara terperinci. Sebab, datanya perlu pendalaman dan investigasi. Salah satu upaya yang ditempuh Kemenkes yaitu, autopsi verbal bagi yang wafat di luar rumah sakit. Sedangkan, audit kematian dilakukan bagi yang wafat di rumah sakit.
"Kita masih tunggu laporan sampai saat ini. Laporannya baru dari 17 provinsi. Nanti akan di-update terus," ujarnya.
Hingga akhir pekan lalu, jumlah seluruh petugas Pemilu 2019 yang meninggal menjadi 583 orang. Terdiri atas 469 petugas KPPS, 92 orang petugas pengawas dan 22 petugas keamanan. Komisioner KPU Evi Novida Ginting Manik mengatakan, selain KPPS yang meninggal, sebanyak 4.602 KPPS jatuh sakit saat bertugas.
"Berdasarkan data hingga pukul 08.00 WIB pagi tadi, ada 469 KPPS wafat dan 4602 KPPS jatuh sakit," ujar Evi kepada wartawan di kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (10/5).