Sabtu 11 May 2019 07:45 WIB

Pengamat: Istilah People Power Menyesatkan

Penggunaan istilah people power dinilai bisa mengancam disintegrasi bangsa.

Sejumlah polisi berjaga saat unjuk rasa menuntut diusutnya dugaan kecurangan Pemilu 2019 berlangsung di Kantor Bawaslu RI, Jakarta, Kamis (9/5/2019).
Foto: Antara/Aditya Pradana Putra
Sejumlah polisi berjaga saat unjuk rasa menuntut diusutnya dugaan kecurangan Pemilu 2019 berlangsung di Kantor Bawaslu RI, Jakarta, Kamis (9/5/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, BANJARMASIN --  Pengamat politik dari Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Dr Andi Tenri Sompa berpendapat hasutan people power yang mengarah pada tujuan penggulingan pemerintahan adalah tindakan inkonstitusional dan dapat dikategorikan makar.

Menurut dia, imbauan untuk people power tidak tepat karena akan mengancam disintegrasi negara. "Ini sangat menyesatkan masyarakat. Jadi tolong rakyat jangan mau dipecah belah melalui hasutan yang salah seperti people power," ucapnya di Banjarmasin, Jumat.

Baca Juga

Tenri menjelaskan, istilah "people power" lebih tepat dilakukan ketika, misalnya, ada kondisi di mana negara mendapat gangguan dari luar. Adapun kondisi saat ini tidak pas. Apalagi hasil pilpres juga belum selesai penghitungannya.

"Jadi imbauan kepada seluruh masyarakat agar jangan mau diprovokasi atau diajak aksi massa yang berujung terganggunya kamtibmas," jelas wanita yang menjadi ketua Tim Seleksi Calon Anggota KPUD Kalsel periode 2018-2023 itu.

Dia juga menegaskan, Indonesia adalah negara hukum. Bagi pihak yang tidak setuju akan hasil pemilu, maka Mahkamah Konstitusi siap menerima gugatan sengketa pemilu.

"Kita harus legawa dan sama-sama menjaga komitmen memberikan kepercayaan penuh kepada penyelenggara pemilu. Maka tunggu saja hasil akhir pemilu yang kini masih terus berproses untuk rekapitulasi penghitungan suara," tegas Ketua Program Studi Magister Administrasi Pembangunan ULM itu.

Sementara pengamat sosial dari Universitas Islam Negeri (UIN) Antasari Banjarmasin Dr Irfan Noor turut mengingatkan masyarakat agar tidak mudah terprovokasi ajakan "people power" karena yang jadi korban adalah rakyat sendiri.

"Jangan sampai gara-gara pemilu bangsa kita terpecah-pecah. Sudah cukup tragedi kerusuhan 23 Mei 1997 di Banjarmasin dan 1998 di Jakarta. Ini semua kepentingan elite, dan rakyat hanya dijadikan alatnya. Intinya, ''people power'' banyak mudaratnya daripada baiknya," jelasnya.

Dekan Fakultas Ushuluddin dan Humaniora UIN Antasari Banjarmasin ini pun meminta para elite politik menahan diri. Bukan sebaliknya, membuat gaduh dan keresahan.

Sedangkan kepada para tokoh masyarakat dan tokoh agama agar kiranya juga memberikan pendapat yang menyejukkan hati rakyat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement