REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim bantuan hukum untuk Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam), sudah mulai bekerja. Mereka akan membantu Kemenko Polhukam untuk menentukan suatu aksi, tindakan, atau ucapan seseorang ataupun kelompok masuk ke pelanggaran hukum atau tidak.
"Sudah mulai (hari Kamis ini), tadi kan sudah rapat," ungkap Menko Polhukam, Wiranto, usai menggelar rapat dengan tim bantuan hukum Kemenko Polhukam di kantornya, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (9/5).
Wiranto menjelaskan, tim tersebut akan melihat dan menilai aksi atau tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok termasuk ke dalam tindakan inkonstitusional atau tidak. Mereka akan mempertimbangkan hal tersebut dan hasilnya akan diberikan ke aparat keamanan untuk dijadikan referensi sebelum bertindak.
"Siapa ngomong apa, hasutannya bagaimana, akibatnya bagaimana. Kapan, di mana, ya semua kan sudah ada proses hukumnya," ujar Wiranto.
Saat ini, sudah ada 22 nama pakar hukum yang masuk ke dalam tim bantuan hukum itu. Tetapi, Wiranto menerangkan, Kemenko Polhukam masih membuka kemungkinan untuk melakukan penambahan, baik perorangan maupun organisasi profesi hukum.
"Ada klausul bahwa masih terbuka untuk penambahan-penambahan baik perorangan maupun dari organisasi profesi hukum. Dan sudah ada yang mendaftarkan kepada kami untuk menjadi bagian dari tim asistensi itu," tuturnya.
Di samping itu, salah satu pakar hukum yang menjadi bagian tim bantuan hukum Kemenko Polhukam, Romli Atmasasmita, menerangkan, tim tersebut dibentuk untuk memastikan langkah aparat keamanan tetap berada di jalur hukum yang benar saat melakukan penindakan.
"Tim ini nanti membantu Menko Polhukam untuk menyampaikan pendapat hukum tentang masalah-masalah yang dihadapi sekarang," ujar Romli saat dihubungi melalui sambungan telepon, Rabu (8/6).
Romli menjelaskan, pendapat-pendapat hukum itu diperlukan agar aparat keamanan tetap bertindak sesuai koridor hukum yang berlaku. Hukum, kata dia, harus berada di depan kewenangan yang dimiliki oleh aparat, terutama aparat kepolisian.
"Walaupun polisi punya kewenangan, kekuasaan memanggil orang, nangkep orang, tapi itu harus dilakukan dengan cara-cara hukum. Jadi hukum di depan, kekuasan di belakang. Jangan dibalik-balik," kata dia.