REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana pembentukan tim hukum nasional oleh Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto dinilai terlalu berlebihan. Menurut pakar hukum tata negara Universitas Brawijaya (UB), Muchamad Ali Safa'at, rencana itu tidak ada urgensi yang mengharuskan tim itu dibuat saat ini.
"Saya menilainya berlebihan karena situasi saat ini tidak ada yang layak membuat (pemerintah) panik. Saya yakin dengan instrumen yang dimiliki oleh pemerintah juga tidak akan panik. Jadi, rencana tersebut tidak memiliki dasar urgensi sama sekali," ujar Ali saat dihubungi, Senin (6/5).
Ali mengatakan, untuk penegakan hukum terhadap tindakan-tindakan yang melawan hukum, negara sudah memiliki instrumen kepolisian dan kejaksaan. Selain itu, kata dia, jika memang yang akan dikaji oleh tim tersebut adalah ucapan dan pemikiran seseorang, itu berpotensi mengancam kebebasan berpikir dan berpendapat sebagai prasyarat negara demokrasi.
Menurut Ali, hukum, terlebih hukum pidana, tidak selalu dapat menyelesaikan sebuah masalah. Bahkan, yang bisa terjadi justru memperlebar pembelahan di tengah masyarakat. Karena itu, Ali menyarankan untuk lebih mengedepankan dialog daripada harus dengan cara itu.
"Pemikiran direspons dengan pemikiran, ucapan direspons dengan penjelasan," ujar dia.
Menko Polhukam Wiranto berencana membentuk tim hukum nasional untuk merespons tindakan, ucapan, maupun pemikiran tokoh yang mengarah ke perbuatan melawan hukum. Menurut dia, rongrongan terhadap negara maupun presiden yang masih sah tidak bisa dibiarkan.
"Kita membentuk tim hukum nasional yang akan mengkaji ucapan, tindakan, pemikiran dari tokoh-tokoh tertentu, siapa pun dia yang nyata-nyata melanggar dan melawan hukum," ujarnya.
Mantan panglima ABRI itu menjelaskan, tim tersebut terdiri dari pakar hukum tata negara dan para profesor serta doktor dari ber bagai universitas. Dia mengklaim, telah mengundang dan meng ajak mereka bicara terkait pembentukan tim tersebut.
Wiranto memastikan, pemerintah akan melaksanakan aturan- aturan dan sanksi tersebut. Aturan dan sanksi itu, kata dia, berlaku ba gi siapapun, bahkan terhadap man tan tokoh dan mantan jenderal.
"Tidak ada masalah. Tatkala dia melanggar hukum maka harus kita tindak dengan tegas," ujar dia.
Dia menambahkan, pemerintah harus tegas menindak para pelanggar hukum. Situasi nasional terkini, kata dia, sudah membuat masyarakat merasa tidak nyaman.
"Kita harus tegas, pemerintah harus tegas. Agar apa? Agar di bulan suci Ramadhan ini kita tak terganggu dengan hal-hal yang justru menodai kesucian bulan suci Ramadhan," ujar Wiranto.
Adu domba
Wiranto menyebut ada upaya adu domba antara militer dan kepolisian. Isu tersebut menga takan, 70 persen TNI-Polri sudah bisa dipengaruhi untuk melakukan langkah-langkah yang inkonstitusional.
"Ada pihak tertentu yang mencoba mengadu domba ten ta ra- tentara, militer, dengan pihak kepolisian, ada itu," ujar dia.
Wiranto menegaskan, hal tersebut tidak benar. Karena itu, kata dia, pihak yang berbicara seperti demikian harus mempertanggung jawabkan pernyataannya. "Jika tidak bisa membuktikan hal ter sebut, orang itu harus mengam bil risiko secara hukum. Tidak bi sa dibiarkan seenaknya ngomong," kata dia.
Wiranto juga menyorot gerak- gerik tokoh yang tengah berada di luar negeri. Tokoh tersebut, kata Wiranto, berbicara setiap hari dan 'mengompori' masyarakat untuk mengambil langkah-langkah inkonstitusional.