Selasa 07 May 2019 15:48 WIB

Mengapa Polisi Proses Lagi Kasus Lama Ustaz Bachtiar Nasir?

Mabes Polri telah menetapkan Ustaz Bachtiar Nasir sebagai tersangka.

Ustaz Bachtiar Nasir.
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Ustaz Bachtiar Nasir.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Bambang Noroyono, Mabruroh, C62

Mabes Polri memastikan status tersangka Ketua Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI) Ustaz Bachtiar Nasir (UBN). Ia dituduh melakukan tindak pidana dugaan penggelapan dana milik Yayasan Keadilan Untuk Semua (YKUS) dalam kegiatan aksi massa 411 dan 212 pada 2017.

Baca Juga

Karopenmas Mabes Polri Brigjen Dedi Prasetyo menerangkan, penetapan tersangka UBN dilakukan setelah penyidik Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus (Dittpideksus) menaikkan kasus penggelapan tersebut dari level penyelidikan ke tingkat penyidikan sejak pekan lalu. Menurut Dedi, tim penyidik baru akan memanggil UBN agar diperiksa sebagai tersangka pada Rabu (8/5) di Mabes Polri.

“Penyidik sudah punya alat bukti. Oleh karena itu penyidik akan meminta keterangan kepada yang bersangkutan besok (8/5). Mengklarifikasi data-data yang dimiliki penyidik kepada yang bersangkutan,” kata Dedi di Mabes Polri, Selasa (7/5).

Dedi pun memastikan, sangkaan yang dituduhkan kepada UBN merupakan tindak pidana terkait penyimpangan dana dan aset yayasan untuk kepentingan pribadi.

“Penggelapan. Kaitannya, tentang penyalahgunaan wewenang terhadap uang yayasan,” sambung Dedi.

Dedi mengatakan, sangkaan penggelapan oleh UBN sempat mangkrak selama dua tahun. Namun, penyidik di Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus (Dittpideksus) sudah punya dua alat bukti meningkatkan penyelidikan, menjadi penyidikan terhadap UBN.

“Momen 2017 sampai 2018 itu sangat rentan. Karena (menjelang) pemilu (2019),” ujar Dedi di Mabes Polri, Selasa (7/5).

Menurut dia, penyidik mengkalkulasi kasus dugaan penggelepan tersebut, dengan potensi reaksi keras dari para pendukung UBN. Apalagi kasus tersebut menyangkut tentang pendanaan terkait aksi umat Islam, dalam 411 dan 212. Pun sepanjang tahun itu, momen pra-Pemilu 2019.

“Tetapi proses hukum terhadap yang bersangkutan dan kasus itu masih terus berjalan,” ujar Dedi.

Kini UBN ditetapkan menjadi tersangka. Ia pun akan kembali diperiksa sebagai tersangka pada Rabu (8/5) di Dittpideksus Mabes Polri, Truno Joyo, Jakarta Selatan (Jaksel).

"Sekarang penyidik tentunya memiliki alat bukti oleh karenanya dalam panggilan itu statusnya sudah sangat jelas. Nanti akan diklarifikasi terkait beberapa temuan-temuan penyidik," kata Dedi.

Dalam surat panggilan, pemeriksaan terhadap UBN besok akan dilakukan pada pukul 10.00 WIB. UBN disangka melanggar Pasal 70 juncto Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 16/2001 tentang Yayasan sebagaimana telah diubah dengan UU No 28/2004 atau Pasal 374 KUHP juncto Pasal 372 KUHP atau Pasal 378 KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 56 KUHP atau Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Nomor 10/1998 tentang Perbankan atau Pasal 63 ayat (2) UU No 21/2008 tentang Perbankan Syariah dan Pasal 3 dan Pasal 5 dan Pasal 6 UU No 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Kuasa Hukum UBN, Kapitra Ampera mengatakan sudah mendapatkan informasi mengenai adanya panggilan dari kepolisian. Menurutnya, UBN juga akan memenuhi panggilan itu.

“Benar itu (ada surat panggilan), saya pikir mungkin UBN (akan) datang,” kata Kapitra saat dikonfirmasi Republika pada Selasa (7/5).

Menurutnya, sebelum memberikan keterangan kepada penyidik ada kemungkinan dirinya akan bertemu dengan UBN terlebih dahulu. Namun, mengenai kapan waktu pastinya Kapitra mengaku belum mengetahui.

“Insha Allah (ketemu dulu), (untuk waktunya) saya tunggu UBN,” kata dia.

Kasus lama

Menengok kasus UBN, sebetulnya adalah perkara lama. Kepolisian pada 2017 pernah memeriksa UBN terkait status tersangkanya saat ini.

Kasus ini berawal dari dugaan Polri atas penyimpangan dana sumbangan yang dikelola UBN sebesar Rp 3,8 miliar. Dana sumbangan masyarakat tersebut, UBN pernah mengakui sebagai modal untuk gelaran Aksi 411 dan Aksi 212 pada 2016.

Yaitu, aksi demonstrasi damai umat Islam untuk mengawal fatwa MUI tentang penistaan agama yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama waktu itu. Sebagian dari sumbangan tersebut, pun dikatakan untuk membantu korban bencana gempa bumi di Aceh, dan bajir di Nusa Tenggara Barat (NTB).

Namun Polri menduga, dana tersebut berasal dari sumber yang dicurigai, dan dialokasikan untuk kegiatan yang tak semestinya. Usai diperiksa penyidik Bareskrim Polri pada 10 Februari 2017,  Bachtiar menyampaikan bahwa uang yang dimaksud pihak kepolisian adalah uang amal dari peserta aksi bela Islam yang diberikan secara sukarela tanpa paksaan.

"Anda tahu kan orang Indonesia yang bersedekah Lillahita'ala pokoknya kepentingan mereka ke ahirat saja dan ini Bela Islam," katanya kepada wartawan, Jumat (10/2).

Untuk itu kata dia, terkait pemeriksaan untuk perkara pencucian uang tidak dilihat semata-mata uangnya saja. Akan tetapi, kepentingan umat Islam untuk membela agamanya seperti yang diperintahkan di dalam Alquran untuk beramal saleh lewat infak.

"Ini orientasinya ke akhiratan ya," ujarnya.

Bachtiar mengakui bahwa yayasan yang menurut polisi bermasalah dalam hal pemindahan uang, karena GNPF MUI itu merupakan sebuah lembaga yang kepanitiaannya masih ad hoc (sementara). Sehingga, tidak sempat membuat rekening khusus dalam mengelola uang sumbangan.

"Akhirnya kami kemudian melakukan semacam kerja sama secara lisan meminjam rekening Yayasan Keadilan Untuk Semua supaya ini dapat dikontrol," katanya.

Bachtiar menyampaikan, karena Yayasan Keadilan Untuk Semua itu sudah berbadan hukum, maka secara spontan GNPF-MUI melakukan kerja sama secara lisan untuk menyimpan uang sumbangan. "Sebetulnya sudah ada draf aggreement ya, karena percepatan umat sudah menunggu akhirnya bukalah rekening itu," katanya.

[video] Makna Pertemuan GNPF MUI dengan Presiden

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement