REPUBLIKA.CO.ID, Ucapan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Wiranto, kemarin, menarik untuk kita cermati. Kata mantan panglima ABRI ini, pemerintah akan membentuk Tim Hukum Nasional yang berisikan para pakar hukum tata negara dan akademisi dari berbagai universitas.
Tugasnya: Untuk menghasilkan rekomendasi langkah hukum atas upaya dan ucapan yang melanggar hukum, seperti memaki dan mencerca Presiden.
Dengan tegas, menko polhukam mengatakan, tim akan mengkaji ucapan, tindakan, pemikiran dari tokoh-tokoh tertentu, siapa pun dia yang nyata-nyata melanggar hukum dan melawan hukum.
Kemudian dia melanjutkan, pemerintah tidak bisa membiarkan rongrongan terhadap negara yang sah, bahkan cercaan, makian, terhadap Presiden yang sah sampai nanti bulan Oktober tahun ini masih menjadi Presiden. Itu sudah ada hukumnya, ada sanksinya.
Wiranto menambahkan lagi, pemerintah akan melaksanakan aturan dan saksi tersebut yang berlaku bagi siapa pun. Termasuk mantan tokoh dan mantan jenderal. Singkatnya, ini sebuah pernyataan keras yang dikeluarkan pemerintahan Presiden Joko Widodo-Wapres Jusuf Kalla.
Tentunya, pernyataan ini masih berkaitan erat dengan Pemilu serentak 2019. Pemilu Presiden 2019 pada 2017 sudah menampilkan 'pemenang pilpres ala hitung cepat', yakni pasangan Jokowi-KH Ma'ruf Amin. Selisih pasangan 01 dengan pasangan 02 berdasarkan hitung cepat dan situng Komisi Pemilihan Umum (KPU) cukup besar, mencapai belasan juta suara. Hasil akhirnya, tentu harus menunggu rekapitulasi nasional KPU 22 Mei.
Terhadap siapa atau apa? Kita bisa menerka dan mereka-reka pernyataan pemerintah ini terutama ditujukan kepada kelompok oposisi dan media sosialnya. Oposisi berarti partai politik yang tidak mendukung pemerintah.
Dalam hal ini adalah Partai Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, Partai Demokrat, dan kawan-kawannya. Sementara media sosial mengacu pada aktivitas para buzzer di ranah Twitter, Facebook, dan Instagram.
Ini merespons ketidakpuasan atas perolehan hasil pada hitung cepat ataupun situng KPU, dan melihat fakta kecurangan yang terjadi di lapangan.
Apa pun pertimbangan utamanya yang membuat menko polhukam sampai harus mengeluarkan pernyataan itu, pemerintah memang memiliki perangkat untuk itu. Namun, kalau kita timbang dengan situasi sosial politik di masyarakat saat ini, yang belum juga reda dari gegap gempita pilpres, ucapan Wiranto bisa jadi kontraproduktif. Karena ini menjadi sangat politis.
Yang melanggar hukum tentu harus berhadapan dengan aparat. Siapa pun yang melawan hukum, tentu harus berhadapan dengan aparat.
Siapa pun yang merongrong negara Indonesia, tentu harus berhadapan dengan hukum. Begitu juga siapa pun yang mencerca dan memaki simbol negara atau kepala negara, bisa diproses dengan hukum lewat sejumlah aturan.
Siapa pun yang menjadi penguasa tentu bisa merasa terusik bila diganggu. Dengan kekuatan penegak hukum di sisi penguasa, di sinilah bias pernyataan menko polhukam itu terjadi.
Di tangan pemerintah, siapa pun bisa jadi sasaran, meski dalam konsep dasar trias politica, kekuasaan judikatif harus netral dan berdiri sendiri. Benar-benar bebas kepentingan.
Kita khawatir tim ini, kalau berhasil dibentuk, akan menyulut pro dan kontra lebih luas lagi di masyarakat. Karena itu, kita berpesan kepada menko polhukam dan jajarannya untuk jernih dan cermat mengeluarkan kebijakan. Jangan gegabah dan tergopoh-gopoh merespons sesuatu.
Secara skala prioritas, kita menilai masih banyak yang lebih penting diurus dan diselesaikan oleh pemerintah ketimbang membentuk tim ini. Misalnya: Ada dua menteri di kabinet yang sudah berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yakni Menpora Imam Nahrawi dan Mendag Enggartiasto Lukita. Namun, pemerintah tak berbuat apa pun terhadap mereka.
Masalah lainnya, seperti situasi keamanan di Papua, lalu pemerintah juga belum berhasil menurunkan harga tiket pesawat meski memiliki perangkatnya, mengangkat guru honorer, defisit neraca perdagangan dengan Cina, dan pemerintah bahkan belum bisa lepas dari rezim impor pangan (bawang, beras, daging, dan lainnya). Kita tidak ingin pemerintah kehilangan konsentrasi mengelola negara pada waktu-waktu krusial ini.
(Tajuk Republika Koran Hari Ini)