Senin 06 May 2019 17:03 WIB

Post-truth dan Islam

Sebagian Muslim terjebak pada post-truth yang merupakan kepura-puraan.

NURIZAL ISMAIL, Direktur Pusat Studi Kitab Klasik Islami STEI Tazkia & Peneliti ISEFID.
Foto: Dokumentasi Pribadi
NURIZAL ISMAIL, Direktur Pusat Studi Kitab Klasik Islami STEI Tazkia & Peneliti ISEFID.

Di era milineal ini post-truth sangat cepat berkembang layaknya virus yang datang menghampiri manusia melalui media sosial dan sejenisnya. Istilah ini berkembang setelah kamus oxford menyatakan post truth merupakan kata yang fenomenal di tahun 2016 (word of the year 2016).

Kamus Oxford mendefinisikan kata ini sebagai keadaan yang berhubungan atau menunjukan fakta-fakta yang objektif, tapi kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik. Yang lebih menjadi perhatian adalah emosi dan kepercayaan pribadi. Stephen Colbert di tahun 2005 mengistilahkan post truth dengan terma truthiness yang berarti keyakinan atas sesuatu yang terasa walaupun sebenarnya tidak didukung dengan fakta yang ada.

Istilah post truth tidak hanya identik dengan arti pascakebenaran, tetapi sesuatu yang melampui kebenaran. Karena itu ketika sesuatu melampui kebenaran maka yang muncul adalah kebohongan, kepura-puraan, ilusi, dan dusta. Sederhananya post truth adalah ngapusi dalam bahasa jawa atau kidzb dalam Bahasa Arab.

Sebenarnya dalam kehidupan sehari-hari post truth sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-sehari. Contohnya, seorang pedagang yang mengatakan barangnya itu asli padahal faktanya adalah palsu.

Seorang siswa berbohong kepada kawan sekelasnya kalau nilai ulangannya mendapatkan nilai 8. Padahal faktanya ia hanya mendapatkan nilai 5. Masih banyak lagi contoh yang pastinya kita bisa sebutkan atau mungkin pernah kita alami sendiri.

Namun, di tahun politik ini post truth menjadi pilihan yang subur dalam komunikasi politik dan isu-isu keagamaan. Setiap orang dapat menerbitkan opininya dengan tafsirnya sendiri bukan dengan fakta atau realitas kebenaran.

Ini yang paling repot, meyakini kebenaran opini dari kelompoknya tanpa melakukan verifikasi opini atau berita tersebut. Malah diterima mentah-mentah secara emosional. Akhirnya, kebohongan di zaman ini menjadi suatu yang lazim dan wajar bagi setiap insan. Tidak terkecuali sebagian Muslim juga terjebak dengan fenomena post truth ini. 

Dalam Islam yang ada hanyalah kebenaran (al-haq). Kebohongan merupakan satu sifat yang tercela dan harus dijauhi. Dalam Surah al-Maidah ayat 8 Allah Ta’ala berfirman: ”Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah menjadi saksi dengan adil. Janganlah sekali-kali kebencian terhadap sesuatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Dalam hadits dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Hendaklah kalian selalu berlaku jujur, karena kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan mengantarkan seseorang ke surga. Apabila seorang selalu berkata jujur dan tetap memilih jujur, maka akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Jauhilah berbuat dusta, karena dusta membawa seseorang kepada kejahatan, dan kejahatan mengantarkan seseorang ke neraka. Dan jika seseorang senantiasa berdusta dan memilih kedustaan maka akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta (pembohong) (HR Ahmad, Bukhari dan Muslim).”

Beberapa ulama telah menjelaskan tentang kebenaran. Menurut Ibnu Sina kebenaran hakiki  itu harus dibuktikan pada suatu yang wujud (yang ada) melalui kebenaran wahyu dan akal (logika). Hal ini selaras dengan pendapat Imam Mawardi dalam kitabnya Adabud Dunya wad Din; sesungguhnya kebenaran itu menyeru kepada akal  yang positif dan syariat yang ditetapkan dan kebohongan melarang akal dan menahan syariat.

Sehingga ia menambahkan, dibolehkan menyebarkan berita yang benar ketika itu mutawatir dan berdampak pada persatuan. Sedangkan tidak dibolehkannya penyebaran berita bohong karena itu kesepakatan para penyeru (hal.306).

Ibnu Taimiyah dalam Majumu’ Fatawa mengatakan seorang yang menggunakan akalnya adalah yang tahu itu baik, lalu mencarinya, dan jika mengetahui hal buruk sehingga meninggalkannya (Juz 7: 24). Ia menambahkan bahwa akal tidaklah bisa berdiri sendiri. Akal baru bisa berfungsi jika memiliki naluri dan kekuatan sebagaimana mata bisa berfungsi jika ada cahaya. Apabila akal mendapatkan cahaya iman dan Alquran barulah akal bisa seperti mata yang mendapatkan cahaya matahari.

Sikap kita sebagai seorang Muslim terhadap fenomena post truth adalah meyakini bahwa kebenaran harus disebarkan. Sebaliknya, kebohongan harus ditinggalkan dengan menjadikan akal dan hati nurani yang selalu terkoneksi dengan wahyu sebagai pemandunya.

Selain itu kita perlu meningkatkan keimanan dan menumbuhkan akal pikiran yang sehat dengan nutrisi yang bersumber dari Alquran dan Sunnah. Hindari hawa nafsu atau emosi semata terhadap berita yang baru saja kita terima, karena ia cenderung menyeru kepada kejahatan kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku (Dalam Surat Yusuf, 53).

Maka jika kita menerima suatu kabar atau berita, tahanlah dulu sampai mengetahui kebenarannya, jangan terburu-buru menerimanya. Karena jika berita yang kita sebarkan salah, dampaknya akan menimpakan suatu bahaya pada suatu kaum atas dasar kebohongan.

Terakhir, Ada satu ayat yang sangat berkenaan dengan post truth yaitu firman Allah Ta’ala yang artinya “Maka (Zat yang demikian) itulah Allah Tuhan kamu yang sebenarnya; maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran).” (Surat Yunus: 32).  Wallahu’alam bil sawab

TENTANG PENULIS

NURIZAL ISMAIL, Direktur Pusat Studi Kitab Klasik Islami STEI Tazkia & Peneliti ISEFID.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement