Senin 06 May 2019 15:19 WIB

Pendidikan, Tanggung Jawab Siapa?

Hampir 79 tahun Indonesia merdeka masih saja kurang optimal pelayanan pendidikan.

Pelayanan pendidikan di Indonesia dinilai masih kurang optimal.
Foto: Dompet Dhuafa Pendidikan
Pelayanan pendidikan di Indonesia dinilai masih kurang optimal.

Tanggal 2 Mei menjadi hari sakral bagi pendidikan di Indonesia. Mengapa tidak? Pada

tanggal ini seluruh bangsa Indonesia gegap gempita merayakan momen Hari

Pendidikan Nasional, yang diambil dari hari lahir Bapak Pendidikan Indonesia, Ki

Hajar Dewantara.

Namun, apakah cukup memaknai Hari Pendidikan Nasional hanya dengan menyelenggarakan upacara di sana-sini, tanpa melihat lebih jauh perkembangan pendidikan di Indonesia? Tentu sangat miris apabila di usianya yang hampir 79 tahun ini masih ditemukan kurang optimalnya pelayanan pendidikan yang ada di Indonesia, khususnya yang berada di daerah-daerah yang jauh dari ibu kota.

Alih-alih menyediakan pelayanan pendidikan yang layak bagi masyarakat di daerah, nyatanya masih banyak ditemukan sekolah-sekolah yang belum optimal menjalankan fungsinya sebagai satuan pendidikan. Ketika melihat satuan pendidikan di daerah perkotaan yang kian marak bak jamur yang tumbuh di musim hujan, miris mengamati terbatasnya satuan pendidikan yang berada di daerah-daerah, khususnya di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar).

Banyak ditemukan anak-anak yang harus menempuh jarak berkilo-kilometer untuk dapat memperoleh haknya, mendapatkan pelajaran dari guru. Namun, sangat disayangkan ketika para penerus bangsa sampai di sekolah, hanya seorang guru yang hadir. Atau bahkan tak ada satu pun guru yang nampak.

Lalu pertanyaannya, sebenarnya ketidakoptimalan pelayanan satuan pendidikan di

daerah menjadi tanggung jawab siapa? Sebenarnya, sudah banyak program kerelawanan yang dilaksanakan untuk membantu memenuhi kurangnya tenaga pengajar di daerah.

Sebut saja SM3T (Sarjana Mendidik di Daerah Tertinggal, Terdepan, dan Terluar) besutan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Selain itu, program Indonesia Mengajar yang diprakarsai oleh Anies Baswedan. Kemudian muncul Sekolah Guru Indonesia di bawah naungan Dompet Dhuafa Pendidikan.

Selain program kerelawanan yang mengirimkan para tenaga pengajar di daerah, program kerelawanan yang mengirimkan konsultan pendidikan ke daerah juga sudah dilakukan oleh Dompet Dhuafa Pendidikan melalui program Sekolah Literasi Indonesia (SLI). Namun, apakah program-program ini bisa benar-benarmengubah paradigma pendidikan di daerah?

Tentu tak semudah membalikkan telapak tangan. Setiap program pasti punya tantangan yang berbeda. Program-program ini hanya sebagian kecil dari elemen yang ikut bertanggung jawab atas pendidikan yang ada di Indonesia.

Sukses atau tidaknya program-program seperti ini dalam meningkatkan kualitas pendidikan di daerah tentu tak lepas dari peran para pegiat lokal pendidikan dan masyarakat. Mereka adalah kepala sekolah, pendidik, tenaga kependidikan, pengambil kebijakan, instansi terkait, masyarakat, dan orang tua siswa.

Sinergitas di antara para pegiat lokal pendidikan harus dioptimalkan guna mewujudkan pelayanan pendidikan yang benar-benar diharapkan dapat mewujudkan tujuan dari pendidikan itu sendiri.

Bagaimana cara membangun sinergitas antar elemen yang ada? Ibarat sebuah bangunan, pendidikan di daerah adalah sebuah rumah, dimana bahan material bangunannya adalah para pegiat pendidikan dan masyarakat. Jika satu saja elemen yang berfungsi secara optimal, sudah dipastikan tujuan pendidikan yang diharapkan akan sulit untuk diwujudkan.

Oleh karena itu, para pegiat pendidikan dan masyarakat harus satu hati, satu

visi, dan satu aksi dalam mengemban tanggung jawab pendidikan di daerah. Apa

maksudnya?

Satu hati. Semua pegiat pendidikan dan masyarakat harus memperbaharui

niat untuk memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat. Jangan sampai terbersit

keinginan untuk menguntungkan kelompok tertentu atau hanya mencari peluang

untuk mendapatkan proyek-proyek pendidikan semata.

Setelah semuanya merasa satu hati, kemudian tentukan visi yang akan dicapai. Pembaharuan visi bukanlah hal yang tak diperbolehkan. Justru hal ini perlu dilakukan secara periodik, misalnya 5 tahun sekali. Hal ini bertujuan agar dapat diukur visi apa saja yang sudah tercapai dan visi baru apa yang harus dicapai.

Visi sudah disatukan, kemudian program harus disusun dan dijalankan. Satu aksi menjadi hal yang wajib dilakukan secara bersama-sama. Akan lebih baik jika semua pihak ikut serta dan menjadi penanggungjawab dari program-program yang sudah disusun. Program-program yang sudah direncanakan harus dilaksanakan secara optimal dan tak lupa dievaluasi di akhir pelaksanaan program.

Melalui tiga hal tadi, tentu tujuan pendidikan yang diharapkan dapat terwujud

secara maksimal dan tidak akan ada lagi kejadian saling menyalahkan antar pihak

jika terjadi permasalahan dalam pendidikan. Dengan demikian, mari bersinergi.

TENTANG PENULIS

FAJAR, Konsultan Relawan (KAWAN) Sekolah Literasi Indonesia (SLI) Dompet Dhuafa

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement