Selasa 07 May 2019 05:17 WIB

Yang Tersirat dan Tersurat Pascapilpres

Pascapilpres sejumlah peristiwa tersirat merapatnya pendukung Prabowo ke Jokowi.

Mohammad Hafil
Mohammad Hafil

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Muhammad Hafil*

Dalam pelajaran bahasa, kita tentu pernah mendengar kata-kata 'makna yang tersirat dan tersurat'. Kata-kata tersirat dan tersurat pun masuk dalam ranah perbendaharaan kata dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI).

Menurut KBBI, tersirat bisa diartikan sebagai makna yang tersembunyi (di dalamnya). Sementara, tersurat adalah makna yang tertulis.

Pascapemungutan suara Pilpres 2019 pada 17 April lalu, tentu kita sudah mengetahui hasil sementaranya. Meskipun, belum resmi diputuskan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), tetapi kita bisa melihat hasil sementaranya melalui quick count atau hitung cepat yang dilakukan oleh sejumlah lembaga survei.

Mayoritas lembaga survei yang melakukan hitung cepat, mencatat pasangan calon (paslon) nomor urut 01 Jokowi-Ma'ruf unggul dari paslon nomor urut 02 Prabowo-Sandi. Selisih suaranya mencapai 10 persen untuk keunggulan Jokowi-Ma'ruf dari Prabowo-Sandi.

Dari hasil itu, kubu Prabowo-Sandi, terutama yang diwakili oleh Gerindra masih tak mengakui hasil hitung cepat lembaga survei itu. Mereka bahkan menuding lembaga survei melakukan penggiriangan opini publik melalui hasil hitung cepat.

Bahkan, kubu Prabowo pun selama tiga hari pascapemungutan suara, tercatat lebih dari tiga kali mendeklarasikan kemenangannya. Hal ini berdasarkan hitung cepat versi internal mereka.

Tetapi kemudian, banyak muncul makna-makna tersirat dari kubu Prabowo-Sandi pascapemungutan suara tersebut. Pertama, deklarasi kemenangan pertama Prabowo di hari pertama tak dihadiri oleh ketua umum partai pengusungnya. Yaitu, Sohibul Iman dari PKS, Zulkifli Hasan dari PAN, serta Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dari Partai Demokrat. Okelah, SBY sedang berada di Singapura menemani perawatan istri tercintanya, Ibu Ani Yudhoyono. Tetapi, urusan Demokrat terkait pilpres ini dipimpin oleh Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang juga menjabat sebagai Komandan  Komando Satuan Tugas Bersama (Kogasma) Demokrat. AHY pun tak hadir pada deklarasi kemenangan itu.

Makna tersirat kedua yaitu, pernyataan dari politikus PKS yang menjadi juru bicara BPN Prabowo-Sandi, Mardani Ali Sera. Jika kubu Prabowo, terutama tak mengakui hasil quick count, tetapi Mardani mengakuinya. Mardani mengakui bahwa partainya mendapat hasil yang baik dari pemilu ini berdasarkan quick count. Ini menjadi dua sisi yang unik. Karena, di satu sisi kubu Prabowo tak mengakui hitung cepat untuk pilpres tetapi mengakui hitung cepat untuk raihan suara partai. Padahal, lembaga survei dan metodologi yang digunakan sama.

Kemudian, pada 3 Mei lalu, Mardani juga kembali menyatakan pernyataan dari makna yang tersirat. Di mana, penggagas Gerakan #2019GantiPresiden itu menyatakan, gerakan itu sudah selesai. Menurutnya, masa kampanye telah usai dan harus segera dilanjutkan dengan proses rekonsiliasi. Apakah ini tanda-tandanya, dia mengakui bahwa #gantipresiden sudah kandas?wallahualam bishawab.

Makna tersirat lainnya yaitu, ketika pada 2 Mei lalu, AHY yang juga anggota dewan pengarah BPN Prabowo-Sandi itu, menemui Jokowi di Istana Merdeka. Menurut BPN, AHY tak meminta izin untuk bertemu Jokowi.

Entah apakah ada peraturan tertulis bahwa anggota BPN harus meminta izin dulu sebelum bertemu kubu lawan. Namun, bisa dibandingkan dengan Prabowo yang menegaskan menolak kedatangan Luhut B Pandjaitan atas permintaan Jokowi pada awal-awal pascapemungutan suara.

Ditegaskan oleh Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, pertemuan itu merupakan silaturahim politik. Artinya, memang pertemuan itu membicarakan masalah politik. Meski tak disebutkan apakah ada pembicaraan atau kesepakatan bergabungnya Demokrat ke kubu Jokowi.

Makna tersirat terakhir adalah, soal pertemuan Jokowi dengan Zulkifli Hasan di Istana Negara pada 24 April lalu. Memang, pertemuan itu kapasitasnya adalah pertemuan kenegaraan. Di mana, Zulkifli yang merupakan ketua MPR menghadiri acara pelantikan gubernur dan wakil gubernur Maluku.

Tetapi di sela pelantikan itu, Jokowi dan Zul melalukan pertemuan yang menurut Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Abdul Kadir Karding, dibahas mengenai permintaan PAN agar kursi ketua DPR atau MPR tetap diberikan kepada PAN. Artinya, permintaan ini menunjukkan adanya kompromi antara Zulkifli dan Jokowi. Meskipun, Sekjen PAN, Eddy Soeparno belakangan membantah soal permintaan itu.

Bila dilihat dari kiprah PAN, memang kerap menjadi partai pendukung pemerintah. Ini bisa dilihat dari pernyataan Wakil Ketua Umum PAN, Bima Arya Sugiarto yang memberi sinyal PAN akan kembali merapat ke pemerintah. Menurutnya, PAN akan menentukan arah dukungan usai kontestasi Pilpres 2019. Sikap itu, kata Bima, seperti yang terjadi usai Pilpres 2014.

Namun, yang ditunjukan oleh Mardani Ali Sera dari PKS, AHY dari Demokrat, dan Zulkifli Hasan dari PAN, yang mereka semua adalah partai pendukung Prabowo-Sandi masih berupa makna tersirat. Secara tersurat, tentu harus dinyatakan pada sebuah deklarasi ketiga partai tersebut, apakah mengakui hasil pilpres, menjadi bagian dari pemenang pilpres, atau menegaskan menjadi oposisi. Namun, ini masih harus menunggu hasil pengumuman resmi pemenang Pilpres oleh KPU pada 22 Mei mendatang.

*) Penulis adalah redaktur republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement