Senin 29 Apr 2019 06:03 WIB

Jenderal dan Kekuasaan

Di Aljazair dan Sudan, para jenderal telah menyerobot kekuasaan dari para pendemo.

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto:

Walad Abdul Aziz dan Walad al-Ghazouani merupakan ‘rekan seperjuangan’ saat melakukan kudeta tahun 2005 dan 2008. Setelah kudeta yang terakhir, Walad Abdul Aziz menjadi Presiden Dewan Tinggi Negara yang merupakan lembaga politik untuk transisi menuju pemilihan baru.

Pada April 2009, ia mengundurkan diri dari posisi presiden dewan, untuk mencalonkan diri sebagai kandidat presiden dalam pemilu Juli 2009. Jabatan presiden dewan digantikan Walad al-Ghazouani.

Setelah menang dalam pemilihan presiden hingga dua periode, Walad Abdul Aziz pun mengangkat ‘rekan seperjuangannya’ menjadi menteri pertahanan. Kini, ketika tidak bisa lagi mencalonkan lagi sebagai presiden untuk periode ketiganya, ia lalu mendukung pencalonan Walad al-Ghazouani.

Apa yang akan terjadi di Mauritania pun sudah bisa ditebak. Rakyat yang haus terhadap demokrasi akan dikalahkan dengan segala rekayasa khas militer--seperti berlangsung di sejumlah negara Arab lain--yang akan memenangkan para jenderal dalam pemilu.

Maka, sistem demokrasi yang penentuannya di bilik-bilik suara menjadi permainan militer yang dirancang para jenderal, lengkap dengan tank-tank dan tentara yang berjaga di jalan-jalan.

Yang harus diakui, institusi militer di negara manapun merupakan institusi yang paling terorganisasi dengan baik, jelas hierarki kepemimpinannya, jelas perekrutannya, sangat terlatih, dan penuh disiplin. Dan, yang paling penting, mereka juga yang memegang senjata. Karena itu, mereka diberi tugas sebagai penjaga bangsa dan kedaulatan negara.

Namun, yang membedakan dengan militer dan para jenderal Arab, seperti ditulis aljazeera.net, mereka juga menganggap diri mereka paling berhak memerintah dan berkuasa. Bahkan, demi kekuasaan, para jenderal itu pun tidak segan untuk mengancam para pendemo di Aljazair dan Sudan bahwa nasib mereka bisa seperti Yaman, Suriah, dan Libia yang kini dilanda konflik bersaudara.

Suatu alasan yang tentu saja sangat tidak berdasar bila berkaca pada negara-negara lain yang lebih maju. Sebutlah misalnya Rwanda di Afrika Tengah. Negara yang 25 tahun lalu dilanda konflik bersaudara dan genosida, kini telah berkembang menjadi salah satu negara paling maju di Afrika. Dari genosida yang sangat mengerikan menuju negara maju, tidak ada campur tangan dan peran sedikit pun dari militer dan para jenderal.

Sebaliknya, di tangan para jenderal, sejumlah negara Arab justru jatuh miskin. Aksi unjuk rasa di Sudan, misalnya, awalnya dipicu oleh kelangkaan roti dan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok sehari-hari.

Apa pun dan bagaimnapun, bila Anda warga Arab dan ingin berkuasa atau menjadi bagian dari penguasa, cara paling mudah menitilah karier sebagai militer dan menjadi jenderal!

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement