Jumat 26 Apr 2019 06:07 WIB

Haruskah Sistem Pemilu Serentak Diubah?

Ada 225 KPPS meninggal saat bertugas menjalankan pemilu serentak 2019

Rep: Dian Erika Nugraheny, Fauziah Mursid/ Red: Elba Damhuri
Warga mengangkat jenazah Sudirdjo, seorang petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) Pemilu serentak 2019 yang meninggal dunia usai mendapatkan perawatan di rumah sakit untuk dimakamkan di Bekasi, Jawa Barat, Selasa (23/4/2019).
Foto: Antara/Risky Andrianto
Warga mengangkat jenazah Sudirdjo, seorang petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) Pemilu serentak 2019 yang meninggal dunia usai mendapatkan perawatan di rumah sakit untuk dimakamkan di Bekasi, Jawa Barat, Selasa (23/4/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, Komisi Pemilihan Umum (KPU) melansir, jumlah petugas kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) yang meninggal dunia terus mengalami peningkatan secara drastis. Sementara itu, seruan-seruan evaluasi sistem pemilihan umum serentak yang diberlakukan pada pemilu kali ini kian menguat.

Hingga Kamis (25/4) petang, tercatat ada 225 KPPS meninggal dunia saat bertugas menjalankan pemilu serentak 2019. Komisioner KPU Viryan Azis mengungkapkan, hingga pukul 18.00 WIB, sudah ada 1.695 KPPS yang tertimpa musibah.

"Jumlah tersebut terdiri dari 225 KPPS yang wafat dan 1.470 KPPS yang jatih sakit," ujar Viryan kepada Republika, Kamis malam.

Viryan belum memberikan konfirmasi lebih lanjut apakah data itu merupakan data tambahan secara langsung atau berdasarkan data yang baru masuk. Yang jelas, data terbaru itu menunjukkan kenaikan jumlah yang tajam ketimbang data Rabu (24/4) sore yang mencapai 144 orang meninggal dunia dan yang sakit sebanyak 883 orang.

Terkait fenomena itu, Ketua DPR Bambang Soesatyo mendorong fraksi-fraksi di DPR mengembalikan sistem pemilu terpisah antara eksekutif yakni pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan kepala daerah (pilkada) dengan pemilihan legislatif (pileg) baik DPR, DPD maupun DPRD. Banyaknya petugas pemilu yang meninggal akibat kelelahan sepanjang pelaksanaan pemilu serentak 2019 ini jadi salah satu alasannya.

"Saya mendorong fraksi-fraksi yang ada di DPR RI sebagai perpanjangan tangan partai politik untuk mengembalikan sistem pemilu yang terpisah antara eksekutif dan pileg seperti pemilu lalu," ujar Bamsoet dalam keterangannya, Kamis (25/4).

Bamsoet menilai, pemisahan pemilu dapat dimodifikasi dengan pilpres dilaksanakan bersama dengan pilkada serentak. Sementara pileg dilaksanakan pada waktu yang terpisah. Jadi, dalam lima tahun hanya ada dua agenda pemilu atau pilkada.

Bamsoet juga menilai perlunya evaluasi terhadap pelaksanaan Pemilu 2019, termasuk mengkaji Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Hal ini karena Pemilu 2019 dinilai memiliki tingkat kerumitan tinggi dan banyak memakan korban petugas KPPS yang kelelahan.

Anggota Komisi II DPR Achmad Baidowi juga sepakat untuk melakukan revisi UU Pemilu. "Kami sepakat melakukan revisi UU Pemilu untuk perbaikan sistem ke depan. Namun, tidak menabrak ketentuan hukum yg lebih tinggi," ujar politikus PPP itu, Kamis (25/4).

Ia menjelaskan, pelaksanaan pemilu serentak 2019 merupakan perintah dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 14/PUU-XI/2013 yang kemudian diatur pada UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Saat menyusun Rancangan UU Pemilu, panitia khusus (pansus) sudah mendengarkan keterangan beberapa pihak, termasuk penggugat aturan tersebut dari Koalisi Masyarakat Sipil.

"Untuk memastikan apa yang dimaksud serentak. Kesimpulannya bahwa pemilu serentak yang dimaksud adalah pelaksanaan pada hari dan jam yang sama," kata dia mengingatkan putusan itu.

Karena itu, ia mengatakan, adanya peluang untuk mengubah UU Pemilu baru dapat terlihat jika kemudian ada tafsir baru terhadap keserentakan yang dimaksud putusan MK tersebut. Namun, ia mengingatkan, keterangan para penggugat di hadapan pansus tidak boleh diabaikan begitu saja.

Baidowi menambahkan, terkait wacana pemecahan pemilu nasional dengan pemilu daerah, hal itu juga bisa menjadi problem hukum ke depan. Pemecahan itu, yakni pemilu nasional yang memilih presiden, DPD, dan DPR RI serta pemilu daerah yang memilih kepala daerah dan DPRD.

"Karena putusan MK juga menyatakan, pilkada bukan rezim pemilu. Sehingga, pembiayaan menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Sementara pembiayaan pemilu nasional menjadi tanggung jawab pemerintah pusat," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement