Kamis 25 Apr 2019 17:03 WIB

Menakrifkan Asnaf Mualaf di Abad 21

Setiap zaman punya penakrifan yang disesuaikan dengan kondisi masyarakatnya

Ilustrasi Zakat
Foto: Republika/Prayogi
Ilustrasi Zakat

Selama ini, kita sering mendengar definisi mualaf sebagai orang yang baru masuk ke agama Islam dengan mengucapkan syahadat. Bahkan, Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan mualaf sebagai "orang yang baru masuk Islam". Namun, mualaf dalam konteks penerima zakat (asnaf) sebetulnya memiliki makna yang lebih luas dari itu.

Dalam Surah Ali Imran [3] ayat 103, kata mualaf disebut dalam term “Allafa baina qulubikum” yang bermakna menyatukan atau menundukkan hati, sehingga jika ditilik secara bahasa, al-muallafah qulubuhum berarti orang-orang yang hatinya dijinakkan, ditaklukkan dan diluluhkan. Pada zaman Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam, beliau memberikan bagian zakat kepada mereka yang diharapkan keislamannya, bukan diberikan kepada kaum Muslimin yang kuat dan tulus agamanya, kendati mereka banyak melakukan jihad dan dakwah dengan keras. Hal itu dilakukan Rasulullah karena melihat konteks masyarakat pada saat itu, per zamannya dan per kebutuhannya.

Pada zaman setelah wafatnya Rasulullah, Umar memberikan nasakh (ijma' sahabat) agar zakat bagi mualaf ini ditiadakan saja karena agama Islam tengah tegak dan tak perlu lagi ada zakat bagi mualaf. Empat Imam mazhab besar pun memiliki andil dalam menentukan definisi mualaf di eranya sendiri. Misalnya, Imam Syafi’i yang menjelaskan Mualaf terbagi menjadi dua golongan, yaitu orang Muslim dan kafir. Orang kafir pun terbagi menjadi dua kelompok lagi, yakni (1) kelompok  yang diharapkan kebaikan dari mereka; dan (2) kelompok yang dihindari kejahatannya.

Di era kontemporer, DR Yusuf Qardawi, seorang ulama fiqih zakat kontemporer yang menulis buku Hukum Zakat menjelaskan, ada beberapa golongan yang disebut sebagai mualaf, baik yang Muslim maupun non-Muslim, juga kaya dan miskin yang berhak menerima zakat, yaitu (1) golongan yang diharapkan keislamannya, (2) mualaf adalah orang yang dikhawatirkan jika tak diberikan harta maka dia akan bermaksiat, (3) orang-orang yang baru masuk Islam, (4) pemimpin dan juga tokoh masyarakat yang memiliki pengaruh di wilayahnya juga berhak mendapatkan zakat.

Berdasarkan pola pemberian dana zakat terhadap mualaf tersebut, dapat dilihat setiap zaman memiliki penakrifan tersendiri yang disesuaikan dengan kondisi serta tingkat kemajemukan kultur masyarakatnya. Pasalnya, setiap negara memiliki kekhasannya masing-masing serta karakteristik masyarakat yang berbeda satu sama lain.

Di Malaysia, asnaf mualaf dibagi menjadi dua. Dalam buku Zakat Kontemporari: Peluasan Sumber dan Konsep Asnaf yang ditulis oleh Abdullah Haji Said dkk pada tahun 2016 dijelaskan, pihak yang berhak mendapatkan dana dari asnaf mualaf diberikan kepada (1) orang yang baru masuk Islam, dan (2) orang yang belum beragama Islam. Adapun bentuk bantuan yang diberikan berupa bantuan dakwah, khitan, dan biaya pernikahan.

Berbeda dengan negara Singapura, penerima zakat pada asnaf mualaf dibatasi hanya bagi orang yang baru memeluk Islam saja. Adapun di Brunei, memfokuskan pada dua golongan, yaitu (1) golongan yang baru masuk Islam, dan (2) golongan yang imannya masih lemah.

Selama ini, praktik zakat di Indonesia masih merujuk kepada fatwa yang diberikan DR Yusuf Qardawi. Kendati demikian, tetap diperlukan penyesuaian kembali dengan kondisi kultural masyarakat Indonesia.

Dalam konteks masa kini di Indonesia, penerima zakat dari asnaf mualaf dapat dibagi menjadi empat, yaitu (1) orang yang baru masuk Islam, (2) golongan yang lemah akidahnya, (3) golongan yang rentan akidahnya, dan (4) pemilik kuasa dari non-Muslim yang dihindari keburukannya.

Pertama, orang yang baru masuk Islam sangat relevan untuk mendapatkan dana zakat. Misalnya, di media sosial berupa Youtube saat ini sedang tren, Ujung Oppa: seorang Youtuber terkenal yang baru saja masuk Islam. Meski dia kaya-raya, dia bisa saja diberikan dana zakat dalam bentuk hadiah sebagai apresiasi. Seringkali, ketika seseorang masuk Islam, terdapat banyak ‘benang’ jaringan sosial yang terputus. Maka dari itu, zakat juga berperan sebagai cerminan solidaritas sosial dari umat Islam untuk para 'saudara' yang baru masuk Islam.

Mekanisme bantuan yang diberikan selain apresiasi yaitu bantuan pendampingan akidah, ibadah dan akhlak yang diberikan secara intensif. Dengan demikian, diharapkan mereka bisa menjalani kewajibannya sebagai seorang Muslim tanpa hilang arah.

Kedua, golongan yang masih lemah akidahnya. Masih banyak masyarakat yang sudah menjadi Muslim tapi belum menjalankan syari'at seperti shalat, zakat, dan puasa meski wajib, atau seringkali disebut sebagai Islam KTP, atau Islam yang nominal. Belum lagi, praktik kemusyrikan dan kesesatan masih menjadi tradisi bagi sebagian masyarakat.

Hal ini sering luput dari perhatian, dan mereka tak dianggap sebagai pihak yang harus dijadikan sasaran penyaluran zakat. Maka, dakwah berupa pendekatan kultural terhadap masyarakat sangat diperlukan melalui pembinaan dan pendampingan terhadap masyarakat.

Ketiga, pihak yang rentan akidahnya pun sangat perlu diperhatikan. Di Indonesia, terjadi banyak upaya pemurtadan di daerah yang rawan, seperti daerah bencana, atau pada masyarakat yang tingkat kemiskinannya tinggi.

Lembaga zakat perlu bermain secara apik untuk memberikan pembinaan dan juga pendampingan dari segi akidah, ibadah dan juga akhlak. Belum lagi, upaya liberalisasi, sekulerisasi, juga paham LGBT tengah gencar menunjukkan taringnya. Pada aspek ini, dana zakat juga bisa diberikan dalam bentuk kajian pemikiran Islam, bantuan advokasi, hingga biaya operasional untuk organisasi yang fokus pada bidang tersebut.

Keempat, pemilik kuasa dari orang non-Muslim pun perlu diberikan bantuan dari dana zakat. Pasalnya, pemimpin tersebut memiliki potensi untuk melakukan kezaliman terhadap masyarakat melalui pengaruh serta kebijakannya. Maka, intervensi yang diberikan berupa advokasi kebijakan dengan tujuan dapat melunakkan hati pemimpin tersebut sehingga mengimplementasikan kebijakan secara adil.

Zakat pada dasarnya tidak hanya menyentuh aspek ekonomi dengan cita-cita menanggulangi kemiskinan, tetapi lebih dari itu —ia memiliki fungsi edukasi yang berimplikasi pada ketakwaan. Cita-cita utama zakat sejatinya bukan untuk menanggulangi kemiskinan— karena sudah menjadi sunatullah bahwa kemiskinan akan selalu ada hingga hari kiamat.

Tujuan hakiki zakat ialah membentuk kultur masyarakat yang bertakwa; yang kaya menjelma dermawan, serta yang miskin memiliki rasa qana’ah. Jika budaya tersebut telah mendarah daging, maka kesejahteraan akan timbul secara lahir dan batin. Dalam buku Keadilan Sosial dalam Islam, Sayd Quthb menegaskan, “Kebebasan dari tekanan bidang ekonomi saja belum merupakan jaminan adanya kontinuitas kebebasan, kecuali disertai dengan kebebasan jiwa yang berada di dalam hati.”

Kebebasan jiwa akan ditemui secara paripurna ketika manusia tetap merdeka meski diliputi takdir yang nampak sengsara. Alih-alih menghujat Allah Ta’ala, manusia tetap bersyukur karena kemampuan membaca ayat yang tercantum dalam kitab dirinya.

Indonesia sejak dulu memiliki khitah yang amat luhur untuk membangun jiwa dan raga melalui syair Indonesia Raya-nya “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya”. Sesungguhnya hasrat itu bukan omong kosong belaka; ia bisa diupayakan melalui investasi jangka panjang berupa pendidikan. Zakat merupakan salah satu pilar yang mampu menegakkan itu: edukasi lahir dan batin, raga dan jiwa.

 

TENTANG PENULIS

EVELINE RAMADHINI, Mahasiswa Pascasarjana Sosiologi Universitas Indonesia, Staf Penelitian dan Pengembangan BAZNAS RI.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement