Selasa 23 Apr 2019 17:02 WIB

Ketegangan Psikologis Masyarakat di Pemilu 2019

Ketegangan psikologis selama Pemilu meningkat.

Pekerja mengeluarkan kotak suara Pemilu 2014 di Gudang KPU Sumenep, Jawa Timur, Ahad (21/4/2019).
Foto:
Pasangan capres-cawapres nomor urut 01 Joko Widodo dan Ma

Manusia mempunyai ambang batas untuk menyimpan rasa kekesalan. Jika banyak kekecewaan terpendam di dalam dada banyak orang hingga memuncak, mereka akan berujung pada kondisi yang biasa dikenal sebagai frustrasi. Saat banyak orang frustrasi berkumpul, bisa mendorong mereka bergerak bersama-sama.

Rasa frustrasi yang terus bergejolak di dalam sanubari dapat berubah menjadi perilaku agresif. Sebagai contoh, seorang caleg menjadi marah-marah di sebuah masjid di daerah Tidore karena telah memberikan banyak sumbangan, tetapi tidak ada yang memilihnya dan juga capresnya.

Walhasil, masyarakat mengeluarkan bantuan karpet yang diberikannya sewaktu kampanye. Marahnya itu refleksi dari rasa frustrasi. Demokrasi politik di Indonesia bukan hanya membutuhkan biaya mahal secara finansial, melainkan juga harga kesehatan jiwa orang-orang di dalamnya, baik terlibat langsung maupun tidak.

Frustrasi mendorong perilaku agresif merupakan formula psikologi yang tak terbantahkan lagi bagi kebanyakan manusia. Apa pun kulturnya, warga negaranya, pilihan politiknya, jenis kelaminnya, juga agamanya. Namun yang membedakan adalah tingkat eks ternalisasi atau pengekspresian agresivitasnya.

Dalam kacamata psikologi Gestalt, manusia mempunyai kecenderungan alamiah untuk berkumpul dengan manusia lain berdasarkan kesamaan. Apa pun jenis kesamaannya: nasib, hobi, tingkat ekonomi, ideologi, dan lainnya. Contoh, para kolektor mobil mewah akan berkumpul dengan orang yang berhobi sama.

Barisan sakit hati di pemerintahan akan mudah membentuk organisasi atau partai baru untuk menjadi oposisi. Begitu juga, dengan orang-orang yang merasa frustrasi, kesal, dan kecewa akibat perilaku penguasa yang semena-mena, mereka akan cenderung untuk berkumpul bersama.

Berkumpul itu memberi rasa nyaman juga energi baru untuk melakukan suatu hal, seperti demonstrasi, mengajukan banding ke Mahkamah Konstitusi, dan menggalang massa di dunia virtual untuk membuat tagar tertentu. Secara individu, berkumpulnya manusia dengan persamaan nasib bisa menjadi 'obat' untuk dapat saling menyembuhkan.

Pemerintah sebaiknya tak membiarkan pemilu ini menambah tekanan psikologis yang amat tidak sehat di seluruh lapisan masyarakat. Beban psikologis memang tidak terlihat secara kasat mata, tapi ia baru akan terlihat jelas ketika sampai pada tahap yang cukup mengkhawatirkan seperti berimbas pada gangguan fisik.

Sebagai contoh, kondisi stres bisa menyebabkan rasa gatal, hilangnya pendengaran dan penglihatan, halusinasi, mual-mual, dan bahkan bisa berujung bunuh diri. Jangan sampai masyarakat Indonesia yang dikenal dengan kesantunan dan keramahan, berubah menjadi beringas.

Mungkin ada baiknya kita merenung, mengapa banyak gangguan jiwa di Indonesia? Apakah masyarakatnya yang gila hingga membuat penguasanya menjadi gila ataukah penguasanya yang gila hingga membuat masyarakatnya menjadi gila?

TENTANG PENULIS

IHSHAN GUMILAR, Neuropsikolog

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement