REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemilihan Umum (KPU) melakukan evaluasi terhadap sistem pelaksanaan pemilu. Berdasarkan evaluasi dan riset, KPU menyarankan pelaksanaan pemilu serentak harus dipisah.
Komisioner KPU, Hasyim Asy'ari, mengatakan pihaknya telah melakukan riset dan evaluasi terhadap pelaksanaan pemilu 2009 dan pemilu 2014. Salah satu rekomendasi dari riset dan evaluasi itu adalah pemilu serentak harus dipisah menjadi dua jenis.
"Pertama, pemilu serentak nasional, yakni untuk pilpres, pemilihan anggota DPR dan pemilihan anggota DPD (memilih pejabat tingkat nasional)," ujar Hasyim dalam keterangan tertulisnya, Selasa (23/4).
Kedua, pemilu serentak daerah, yakni untuk pemilihan gubernur, bupati/walikota dan DPRD provinsi dan kabupaten/kota. Dengan kata lain, pemilu serentak daerah untuk memilih pejabat tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Hasyim melanjutkan, kerangka waktu pelaksanaan pemilu serentak nasional adalah setiap lima tahun sekali. "Misalnya 2019, kemudian 2024," ungkapnya.
Kemudian, kerangka waktu pemilu serentak daerah adalah lima tahun sekali. Artinya nantidi selenggarakan di tengah jangka waktu lima tahunan pemilu nasional. Misalnya pemilu serentak nasional 2019, dalam 2,5 tahun berikutnya (2022) ada pemilu serentak daerah.
Lebih lanjut Hasyim juga menyebutkan empat alasan pentingnya pelaksanaan pemilu serentak yang dipisahkan. Pertama dari sisi aspek politik. Akan terjadi konsolidasi politik yg semakin stabil, karena koalisi parpol dibangun pada bagian awal (pencalonan).
Kedua, aspek manajemen penyelenggaraan pemilu, karena beban penyelenggara pemilu lebih proporsional, dan tidak terjadi penumpukan beban yang berlebih. Ketiga, aspek pemilih, sebab pemilih akan lebih mudah dalam menentukan pilihan, karena pemilih lebih fokus dihadapkan kepada pilihan pejabat nasional dan pejabat daerah dalam dua pemilu yang berbeda.
"Terakhir, aspek kampanye, yang mana isu-isu kampanye semakin fokus dengan isu nasional dan isu daerah yang dikampanyekan dalam pemilu yang terpisah," tegasnya.