Senin 22 Apr 2019 12:40 WIB

Sumur Angker Hadhramaut; Ganjaran Bagi Pemutus Silaturahim

Dikatakan arwah-arwah pemutus silaturahim ditempatkan di Sumur Barhut.

Ilustrasi Bersilaturahim
Foto: Foto : MgRol_92
Ilustrasi Bersilaturahim

Pemilu serentak telah usai. Hingga hari ini, tak sedikit dari kita yang masih deg-degan dengan hasil KPU, 22 Mei nanti. Di sisi lain, sembari menunggu hasil perhitungan suara, Sabtu malam Ahad, 20 April umat Islam khususnya kedatangan tamu spesial; Malam Nisfu Sya'ban. Malam beureuat, begitulah orang-orang di desaku, Pante Garot menyebutnya.

Nishfu, adalah kalimat Bahasa Arab yang berarti ‘setengah’. Jadi, Malam Nisfu Sya'ban adalah malam ke-15 dari bulan Syakban. Ada banyak referensi syariat yang menyatakan kelebihan-kelebihan malam Nishfu Syakban ini.

Selain itu, malam Nisfu Sya'ban juga termasuk salah satu dari lima malam yang diampuni segala dosa hamba. Kecuali dua golongan hamba: orang syirik dan orang yang memutus tali silaturahim.

Berbicara tentang silaturahim, saya masih ingat dengan sebuah kisah ganjaran bagi para pemutus tali silaturahmi yang sering diceritakan guru saya di Pesantren Riyadhul Ulum, Pante Garot. Saya sebut saja namanya Teungku Arsal. Sumber akurat kisah tersebut saya dapati di dalam kitab Al-Kabair, karya Imam Adz-Zahabi. Saya rasa perlu saya ceritakan di sini sebagai pengingat besarnya dosa bagi pemutus silaturahim tersebut.

photo
Aidil Ridhwan bersama Afdhal Ridhwan (Dokumen pribadi).

Diriwayatkan, ada seorang kaya naik haji ke Makkah. Saat kepergiannya ke Arafah, ia titipkan uang berjumlah 1.000 Dinar kepada seseorang yang terkenal saleh dan amanah. Usai pelaksanaan haji, ia pun ingin mengambil kembali uangnya itu. Tetapi ternyata orang tersebut telah meninggal dunia, sedangkan keluarganya tidak ada yang tahu di mana uang itu disimpan.

Si kaya itu pun bertanya kepada ulama Makkah. Oleh mereka, ia disarankan ketika tiba tengah tengah malam agar turun ke tepi Sumur Zamzam dan memanggil nama yang dimaksud. Jika ia ahli surga, maka akan ada jawabannya. Setelah dilakukan, ternyata nihil. Ia pun datang lagi kepada ulama menceritakan hal itu.

Para ulama mengatakan bisa jadi orang itu bukan ahli surga. Lalu mereka menasihatinya agar pergi ke Sumur Barhut yang ada di negeri Yaman.

Dikatakan sumur itu adalah tepi jurang neraka. “Di tengah malam, berdirilah di sana dan panggil namanya!” Ia pun pergi ke Yaman dan melaksanakan apa yang dinasihatkan.

Sesampai di sana, ia panggil nama orang yang dimaksud, ternyata ada jawabannya. Setelah ditanyakan, orang yang dikenal saleh itu pun menerangkan uang ia simpan di dalam tanah di samping rumahnya. “Galilah tanah itu, kau akan menemukan uang tersebut,” katanya.

Si kaya itu bertanya lagi, “Mengapa tuan ada di sini, padahal selama ini kami mengenal tuan sebagai orang saleh?!” Ia menjawab, “Walaupun begitu, tetapi aku mempunyai seorang saudara perempuan yang miskin, aku tidak mempedulikannya (baca: memutus silaturahim dengannya), maka Allah menghukumi dan menempatkanku di tempat ini akibat perbuatanku itu.” (Adz-zahabi, Al-Kabair, Juz 1, Hal 47).

Di dalam kitab Ghidzaul Albab, As-Safariny menambahkan, si kaya tersebut kembali ke Makkah dan menceritakan ihwal itu kepada keluarganya seraya meminta dimaafkan agar si saleh tersebut selamat dari azab Allah. Singkatnya, saudari itu pun memaafkan segala kesalahan saudaranya yang telah wafat itu. Keesokan harinya si kaya itu mendatangi lagi Sumur Zamzam untuk memanggil nama, dan ternyata si saleh itu pun menjawab. (Assafariny, Ghizaul Albab, Juz 1, Hal 276).

Begitulah, arwah-arwah jahat, termasuk pemutus silaturahim juga ditempatkan di Sumur Barhut (Aceh; Mon Bruhut) itu. Mungkin Anda bertanya-tanya keotentikan keberadaan sumur tersebut di Yaman. Iya benar, menurut warga Hadhramaut, sumur itu berada di lembah Barhut, bersebelahan langsung dengan lembah makam Nabiyullah Hud alaihissalam, Provinsi Hadhramaut, Yaman.

Sepulang dari ziarah makam Nabi Hud, di Hadhramaut, dua tahun lalu, saya ditunjuki jalan masuk ke Mon Bruhut itu oleh sopir bis yang saya tumpangi. Di sebelah kiri jalan utama lintas Tarim-Syi’ib Hud terlihat sepintas jalan tak beraspal. “Akses ke sana minimal satu jam berjalan kaki. Tak bisa pakai mobil. Bersepeda motor saja sulit sekali,” ujar sopir.

Meski bisa ditempuh dengan sepeda motor, namun para ulama dan habaib di Yaman sangat tidak menganjurkankan siapapun berkunjung ke sumur itu. Selain karena tempatnya memang tak layak dikunjungi, sumur tersebut juga menyemburkan bau yang tidak sedap. Hingga kini, sumur tersebut masih menyimpan misteri menakutkan.

Karena itu, mari sama-sama memperbaiki kembali ikatan silaturahim kita dengan semuanya. Jangan gegara pemilu, ikatan dengan sesama pun kandas di tengah jalan. Wallahu a’lam.

TENTANG PENULIS

AIDIL RIDHWAN. Pria asal Pante Garot, Alumni Al Ahgaff, Yaman, saat ini mengabdi di Dayah Ummul Ayman

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement