Senin 22 Apr 2019 09:01 WIB

Jokowi, Prabowo, dan Kontroversi Bubur Diaduk

Perdebatan soal bubur lebih substansial ketimbang pilpres.

Abdullah Sammy.
Abdullah Sammy.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Abdullah Sammy*

Semua bermula dari kedai bubur ayam di kawasan Barito, Jakarta Selatan, Sabtu (20/4) malam. Saya memesan satu porsi bubur ayam dengan topping cheese stick yang khas. Saya mesti menunggu sekitar tiga menit. Memang, kondisi Bubur Barito selalu ramai. 

Sambil menunggu piring tersaji, saya memperhatikan pengunjung lain yang sudah menikmati buburnya. Tiba-tiba saja terlintas di kepala sebuah isu hangat yang kini membelah masyarakat Indonesia pada dua kutub yang berseberangan. Ini tentang bubur diaduk versus bubur tidak diaduk.

Karena penasaran, saya menoleh ke sekeliling. Saya ingin tahu, bagaimana cara para pengunjung di Barito memakan bubur. Apakah bubur mereka diaduk atau tidak?

Segera saya lakukan quick count kecil-kecilan untuk menguji seberapa banyak orang yang makan bubur diaduk versus makan bubur tidak diaduk. Hasilnya menunjukkan empat orang makan dengan diaduk, sedangkan dua lainnya tidak diaduk. 

Jangankan pilihan politik, perbedaan urusan makan bubur saja menciptakan perdebatan yang cukup seru antara dua kubu yang sama-sama fanatik. 

Kubu bubur diaduk maupun tidak diaduk sama-sama punya argumentasi yang sama liar. Perdebatan berkembang dari urusan kuliner hingga filosofis. 

Anda dijamin tertawa saat mengamati perdebatan kedua kubu di media sosial. Dari urusan sepele dan jenaka nyatanya bisa diambil makna mendalam. 

Saya mengutip beberapa pandangan kedua kubu yang saling serang. Kubu bubur diaduk menilai kubu yang tidak diaduk kurang logis. Mereka mempertanyakan bagaimana makan bubur dengan kecap atau sambal yang terpisah dan tak diaduk? 

Berangkat dari argumentasi itu, kubu ini menganggap makan bubur diaduk lebih memberi kesatuan cita rasa bubur yang utuh. Bukan justru rasa yang terpisah-pisah antara cakwe, kacang, sambal, kecap, kerupuk, maupun bubur. 

Yang jauh lebih filosofis, kubu yang makan bubur diaduk menilai kubunya jauh lebih toleran karena tidak membeda-bedakan satu unsur dengan unsur lain. Segala unsur yang berbeda itulah yang akhirnya menciptakan satu rasa.

Di sisi lain, kubu bubur tidak diaduk juga punya serangan mematikan untuk kubu tidak diaduk. Bagi mereka, kubu tak diaduk itu tak mengerti soal estetika makanan. Sebab di dunia kuliner, penampilan dan tekstur penting untuk menggugah selera serta sensasi rasa. 

Berangkat dari sanggahan mereka itu kubu ini memiliki pandangan filosofis bahwa perbedaan adalah keindahan yang tidak mesti diseragamkan. Kubu bubur yang tidak diaduk malah menilai mereka mewakili semangat keindonesiaan yang mana satu wadah mewakili beragam perbedaan yang bisa terlihat kasat mata.

Memang, tidak ada habisnya melihat dua kubu penikmat bubur yang saling berdebat. Walau riuh, perdebatan itu membawa banyak manfaat. Paling tidak memberikan hiburan segar. 

Sama dengan perdebatan soal bubur, perdebatan politik juga membelah rakyat Indonesia pada dua kubu yang berseberangan, kubu pendukung Jokowi versus Prabowo. Namun perdebatan kedua kubu itu cenderung jauh dari kata menghibur, melainkan merusak. Tak sedikit persahabatan, relasi, dan hubungan keluarga rusak akibat perdebatan dua kubu yang berlabel cebong dan kampret. 

Pada titik ini, perdebatan soal pilihan cara makan bubur ayam jauh lebih bermanfaat ketimbang berdebat soal politik yang selama 4,5 tahun terakhir temanya masih itu-itu saja. Hoaksnya pun masih dimainkan dalam skenario yang sama seperti tahun 2014.

Lantas mengapa perdebatan politik malah tidak memberi banyak manfaat? Jika kita mengkomparasi dengan perdebatan bubur, ada cara berdebat yang jauh berbeda. Perdebatan politik di Indonesia sejatinya tidak masuk pada substansi. 

Ini berbeda dengan bubur yang mana wujud dan rasanya diselami oleh masing-masing kubu. Sehingga mereka tahu argumentasi lawan. Dengan itu mereka mampu menyusun dasar arumentasi untuk membantahnya. 

Sebaliknya dalam politik, argumentasi hanya milik pribadi yang kental dipengaruhi sentimen personal. Argumentasinya jauh dari kata rasional. Ini yang kemudian membentuk rasa suka dan tidak suka yang tidak rasional pula. 

Menilai pemimpin tegas hanya karena pidato yang berteriak-teriak dan menggebrak meja. Pemimpin merakyat hanya karena masuk gorong-gorong. 

Nasionalis dan cinta rakyat hanya berdasar narasi kebocoran kekayaan negara. Sederhana hanya karena dilihat wajahnya dan busananya. 

Segala skenario ini sejak awal dimainkan oleh tim sukses atau konsultan politik dengan tujuan membangkitkan sisi irasionalitas pemilih. Segala permainan ini yang akhirnya menjebak rakyat sehingga timbul sentimen. 

Berangkat dari sentimen itu muncul irasionalitas dalam mendukung dan membenci. Pendukung yang terbawa sentimen akhirnya percaya dengan apapun yang dikatakan si calon sekalipun itu tak sesuai logika. 

Saat-saat inilah kita bisa melihat puncak irasionalitas itu ketika berbicara perdebatan hasil pemilu apakah menang Jokowi atau Prabowo. Pembuktian ilmiah tidak lagi dipercaya. Yang dipercaya adalah kata-kata tim sukses dari calon yang mereka dukung. 

Berdebat bukan lagi karena ingin mencari kebenaran, melainkan pembenaran atas irasionalitas yang sudah bersemayam di hati. Karena di dalam hati si jago sudah menang, maka apapun argumentasinya harus dicocokan dengan isi hati itu. 

Ini berbeda dengan kalangan yang terlibat dalam perdebatan bubur. Mereka semua berdebat karena sebuah pilihan yang didasarkan pembuktian panca indra. 

Kedua kubu penikmat bubur telah menyusun argumentasinya berdasarkan pendekatan keilmuan, khususnya ilmu budaya. Bubur menjadi sebuah teks kebudayaan yang dimaknai dengan kebenaran yang relatif. Karena landasan itu maka perdebatan bubur yang sepele itu masih lebih logis dan ideologis ketimbang berdebat politik, utamanya soal hasil pemilu. 

Penikmat bubur tak butuh kekuatan otot untuk membuktikan kebenaran, melainkan kekuatan lidah, perut, dan pikiran. Sebaliknya, yang masih berdebat kusir soal politik hanya menggunakan kekuatan mulut yang terus bicara saat pikiran sudah berhenti bekerja. Sehingga yang keluar bukanlah manfaat, melainkan mudharat. 

Walhasil ada baiknya mereka untuk meresapi adagium "orang yang tidak beruntung adalah orang yang mulutnya lebih sering terbuka ketimbang pikiran dan hatinya."

Jadi ada baiknya mulut kita terbuka untuk makan bubur, ketimbang berdebat politik. Terserah bubur itu mau diaduk atau tidak.

* Penulis adalah Redaktur Republika

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement