REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pascapemilihan presiden (pilpres) pada Rabu (17/4) lalu, tensi politik dinilai tidak kunjung mereda. Malahan, kedua belah pihak dari masing-masing pasangan calon presiden dan calon wakil presiden telah mengklaim diri pemenang.
Terkait itu, analis sosial politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun menilai perlu adanya rekonsiliasi pascapemilihan umum (pemilu). Sebab, lanjut dia, rekonsiliasi diharapkan mampu untuk meredam ketegangan dan gesekan yang mungkin saja terjadi.
“Desakan ini tentu sangat baik di tengah ketegangan dalam sekam yang meninggi untuk diredam,” ujar Ubedilah Badrun dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Ahad (21/4).
Hanya saja, lanjut dia, problemnya cenderung datang dari pihak-pihak organisasi masyarakat (ormas) atau tokoh-tokoh yang justru terlibat dalam ketegangan. Maka dari itu, menurut dia, rekonsiliasi mesti datang dari kedua belah pihak.
Rekonsiliasi sendiri secara etimologis adalah perbuatan memulihkan hubungan persahabatan sehingga menjadi seperti keadaan semula. Rekonsiliasi juga dapat diartikan sebagai perbuatan menyelesaikan perbedaan. “Ini artinya harus muncul dari kedua belah pihak. Jika ini terjadi sangat mungkin rekonsiliasi dilakukan,” kata Ubedillah.
Apabila inisitaif tak kunjung datang dari kedua belah pihak, rekonsiliasi mungkin bbisa dimotori pihak ketiga. Problemnya, sebut Ubedillah, para tokoh yang dahulu tidak ikut-ikutan politik praktis, pada pemilu 2019 kali ini cenderung terjebak politik praktis. Mereka misalnya tampak memberikan dukungan, atau ditarik-tarik oleh kontestan untuk memberikan dukungan.
Apabila niat rekonsiliasi tetap hendak diwujudkan, maka keempat hal berikut dapat menjadi pertimbangan. Pertama, kata dia, rekonsiliasi dilakukan atas dasar kesadaran kedua belah pihak untuk mengutamakan kepentingan nasional, alih-alih kepentingan sepihak.
Kedua, jika tidak datang dari kedua belah pihak, maka hanya bisa dilakukan mediator yaitu para tokoh bangsa yang tidak terjebak dukung-mendukung dalam kontestasi Pilpres 2019.
Ketiga, jika tokoh bangsa yang dimaksud tidak ada, maka pihak kampus bisa menjadi alternatif untuk memediasi rekonsiliasi politik. Sebab, kalangan akademis diharapkan independensinya terjaga. Universitas yang kredibel mungkin bisa dipercaya untuk mengadakan rekonsiliasi.
Keempat, selain mengutamakan kepentingan nasional, isi rekonsiliasi juga harus mewakili kepentingan paling konkret yang menjadi pokok kedua belah pihak.
Isi dokumen tersebut, bila nantinya ada, juga mesti mengevaluasi sistem politik yang saat ini dipraktekkan. Sebab, sistem itulah yang menjadi penyebab utama dari seluruh hiruk-pikuk ketegangan saat ini, demikian Ubedillah.