REPUBLIKA.CO.ID, SYDNEY -- Beberapa pakar di luar negeri sudah memprediksi kemenangan tipis Joko Widodo dalam pemilihan presiden 2019. Menurut mereka margin kemenangan Jokowi tidak sesuai dengan yang diharapkan saat kampanyenya. Ada kemungkinan karena Jokowi menahan beberapa rencana reformasi ekonomi.
"Kami sudah menduga kemenangan Jokowi, terutama karena tidak tegas, hanya menghasilkan reformasi ekonomi yang biasa saja," kata Peter Mumford dari Uerasia Group, konsultan politik yang bermarkas di New York, Kamis (18/4).
Sebelumnya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meraih 61 persen suara di periode keduanya. SBY dianggap telah menyia-nyiakan kesempatan itu untuk mengatasi persoalan ekonomi yang sistemik.
"(Kemenangan ini) akan membuat Jokowi sulit untuk membebaskan diri dari jerat mitra koalisi dan kepentingan pribadi, elit politik, militer, agama dan pemimpin-pemimpin perusahaan besar," kata Mumford.
Sementara itu pakar Indonesia dari Australian National University Greg Fealy menanggapi kemenangan Jokowi ini lebih positif. Menurutnya Jokowi berkomitmen untuk membuat peninggalan dalam pemerintahannya.
"Ia bertekad untuk menciptakan dampak terbesar dalam kehidupan nasional yang ia bisa, ia ingin melakukan banyak pembangunan, ia ingin lebih banyak lagi infrastruktur, ia ingin kesejahteraan yang lebih besar lagi, ia ingin meninggalkan warisan," kata Fealy.
Fealy mengatakan baru-baru ini Indonesia sedang menegosiasikan perdagangan bebas dengan Australia. Termasuk membebaskan tarif banyak barang dan jasa. Mengizinkan universitas-universitas Australia membangun kampus di Indonesia. Hal ini mencerminkan naluri pasar Jokowi, seorang mantan pengusaha dan eksportir besar.
Sebagai presiden Indonesia pertama yang bukan berasal dari kalangan elit politisi, militer dan penguasaha, dalam periode pertamanya Jokowi memprioritaskan pembangunan infrastruktur. Ia membangun jalan, rel, pelabuhan dan bandara di seluruh kepulauan di Indonesia, dikutip dari Reuters, Kamis (18/4).