REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemilihan umum serentak 2019 kali ini menjadi momen baru bagi Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). Tahun ini adalah pertama kalinya mereka memiliki dan menggunakan hak pilih untuk memilih wakil rakyat. Pengalaman ini jelas menjadi sesuatu yang baru bagi para ODGJ, salah satunya adalah Yusuf Fransisco, warga binaan Panti Sosial Bina Laras Harapan Sentosa 2, Cipayung, Jakarta Timur ini antusias mengikuti pemilihan umum di TPS 079.
TPS itu terletak di kompleks gedung Panti Sosial Bina Laras Harapan Sentosa 2. Panti itu sendiri khusus menjadi tempat rehabilitasi bagi ODGJ. Yusuf berjalan keluar dengan rasa bangga dari tenda TPS. Pria 36 tahun ini lantas menunjukkan jari kelingkingnya yang sudah dinodai tinta biru sebagai tanda dirinya sudah mencoblos.
"Habis nyoblos," katanya riang.
Yusuf mengaku tidak mengalami kesulitan dalam proses pemungutan suara, mulai dari saat memasuki TPS, menerima surat suara hingga mencoblos. Yusuf paham tata cara memilih, ia juga hapal nama-nama calon presiden dan wakil presiden. Ia tahu bahwa ada empat surat suara yang harus dicoblos.
Yusuf mengaku senang karena bisa ikut berpartisipasi dalam pemilu kali ini. Dengan polos, ia mengaku merasa senang karena suasana panti menjadi lebih ramai dari biasanya.
"Senang aja, ramai," ujar pria berkulit legam itu.
Ia lantas menyebutkan nama kandidat presiden yang ia pilih. "Seneng aja sih sama calon yang itu," kata Yusuf.
Tidak ada penjelasan muluk-muluk yang terlontar dari mulutnya. Meski alasannya memilih pasangan calon sederhana, ternyata Yusuf menyimpan harapan besar apabila kandidat yang ia pilih menang. "Saya pengin ketemu keluarga saya," katanya.
Dengan nada dan raut muka datar, lelaki itu mengaku sudah lama tidak bertemu dengan keluarganya. Meski penyandang disabilitas mental, Yusuf masih ingat letak rumah dan kampung halamannya.
Ia lantas bercerita bahwa sebelum masuk panti sosial, ia tinggal di kontrakan di Tangerang, Banten. Ia tinggal bersama keluarganya. Namun ia menolak bercerita perjalanannya hingga berakhir di Panti Sosial Bina Laras Harapan Sentosa 2.
"Keluarga saya udah dari lama bilangnya mau jemput saya di sini. Tapi saya tunggu nggak datang-datang," kata pria yang mengaku berasal dari Banyumas, Jawa Tengah itu.
Yusuf dan rekan-rekannya di Panti Sosial itu sebelumnya telah diberikan sosialisasi dan pendidikan pemilih sebanyak tiga kali. Menurut Kepala Panti Sosial Bina Laras Harapan Sentosa 2 Tuti Setyaningsih sosialisasi pertama dilakukan pada 29 Januari oleh KPU Jakarta Timur, kemudian tanggal 5 Maret oleh KPU DKI Jakarta dan terakhir tanggal 11 April oleh relawan penyandang lintas disabilitas.
Hal itu diakui Yusuf membantu dirinya menjalani proses pemungutan suara. "Bisa, tadi bisa ngelipetnya. Kan sudah diajarin," kata Yusuf.
Sementara itu, di panti sosial itu terdapat dua TPS yakni TPS 078 dan TPS 079. TPS 78 ada 92 pemilih dan di TPS 79 sebanyak 128 pemilih. Dari pantauan Republika.co.id, proses pemungutan suara berjalan kondusif. Para warga binaan mengantri dengan tertib sejak pagi. Suasana hening amat terasa pagi itu.
Menurut Tuti, dari pagi hari mereka sudah bangun tidur dan dibagikan surat C6. Mereka lantas diminta membawa sendiri kursi plastik untuk duduk dan surat C6 masing-masing. Begitu pula ketika mereka diminta berpindah barisan tempat duduk. Tanpa banyak bicara, mereka segera berpindah mengikuti arahan petugas panti.
Tuti menjelaskan warga binaan di Panti Sosial Bina Laras 2 ini merupakan ODGJ dengan kondisi yang sudah cukup stabil. Itulah mengapa penghuninya bisa mencoblos. Warga binaan di sana sudah bisa melakukan kegiatan sendiri tanpa pengawasan berarti dari petugas.
Ia selaku kepala panti yang lama berkecimpung mengabdi untuk ODGJ pun merasa senang warga binaannya akhirnya ikut menyoblos. "Lihat kan mereka bisa tertib, antri, nggak macem-macem. Ya untuk menghilangkan stigma orang-orang juga ke penyandang disabilitas mental," kata Tuti bangga.