REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menegaskan lembaga penyiaran harus mematuhi semua ketentuan pengaturan waktu publikasi hasil hitung cepat (quick count). Hal ini menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak permohonan uji materi terkait waktu publikasi quick count yang diajukan Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (AROP) dan Asosiasi Televisi Swasta indonesia (ATVSI).
"Dengan putusan MK ini, berarti Surat Edaran KPI nomor 1 tahun 2019 tentang Pemberitaan, Penyiaran, dan Iklan Kampanye Pemilihan Umum tahun 2019 di lembaga penyiaran, berlaku seluruhnya, stermasuk pengaturan waktu publikasi hasil hitung cepat," ujar Komisioner KPI Pusat Koordinator Bidang Pengawasan isi Siaran, Hardly Stefano Pariela, dalam keterangan resemi yang diterima Republika, Selasa (16/4).
Hardly melanjutkan hasil hitung cepat baru boleh disiarkan dua jam setelah tempat pemungutan suara (TPS) di wilayah Indonesia bagian barat ditutup, yakni pukul 15.00 WIB. "Ada konsekuensi pidana pemilu, jika aturan tentang publikasi hitung cepat ini dilanggar," kata dia.
Dalam menyiarkan hasil hitung cepat, KPI juga meminta lembaga penyiaran mengedepankan fungsi pendidikan politik dan kontrol sosial dalam mengawal pesta demokrasi. Caranya, Hardly meminta televisi dan radio menjelaskan pada publik bahwa hasil hitung cepat bukanlah hasil resmi dari penyelenggara pemilu.
Hardly juga mengingatkan agar lembaga penyiaran mengambil hasil hitung cepat dari lembaga survey yang telah terdaftar di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Selain itu, lembaga penyiaran harus menampilkan lebih dari satu lembaga survey agar ada perbandingan data bagi publik.
Menjelang pencoblosan yang dimulai besok pagi, Hardly mengatakan, lembaga penyiaran juga mempunyai kewajiban mematuhi semua ketentuan pada hari tenang. Aturan tersebut di antaranya adalah lembaga penyiaran dilarang menyiarkan berita, iklan, rekam jejak, citra diri peserta pemilu.
Lembaga penyiaran juga dilarang menyiarkan bentuk lainnya yang mengarah kepada kepentingan kampanye yang menguntungkan atau merugikan peserta pemilu. Termasuk, dilarang juga untuk menyiarkan hasil jajak pendapat tentang peserta pemilu.
Ia berharap lembaga penyiaran mengambil peran sebagai penyampai informasi yang valid tentang Pemilu di tengah masyarakat. "Jika memang terdapat masalah dalam penyelenggaran pemilu, lembaga penyiaran diharapkan senantiasa merujuk pada pendapat penyelenggara pemilu yang memiliki kewenangan untuk menyelesaikan masalah," ujar dia.