Rabu 17 Apr 2019 08:55 WIB

Publik Minta Kejelasan Anies

Kewenangan untuk pengelolaan air di Ibu Kota diserahkan ke PAM Jaya.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Bilal Ramadhan
Petugas melakukan pemeriksaan di Instalasi Produksi Air PT PAM Lyonnasise Jaya (Palyja) Pejompongan, Jakarta, Rabu (13/2/2019).
Foto: Antara/Rivan Awal Lingga
Petugas melakukan pemeriksaan di Instalasi Produksi Air PT PAM Lyonnasise Jaya (Palyja) Pejompongan, Jakarta, Rabu (13/2/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penghentian swastanisasi air oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta masih menjadi pertanyaan bagi sejumlah pihak. Pasalnya, Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan belum menjelaskan lebih perinci setelah adanya kesepakatan awal atau head of agreement (HoA) antara PD PAM Jaya dan pihak swasta PT Aetra Air Jakarta.

"Lalu HoA ini mengambil alih seluruhnya atau mengambil alih yang mana? Apa isi perjanjian pernyataan kembali? Ini harus dibuka ke publik," ujar pengacara publik mewakili Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ), Tommy Albert, kepada Republika, Selasa (16/4). Bahkan, menurut dia, ada kontradiksi di dalam rilis HoA PAM Jaya dan Aetra.

Ia menjelaskan, pada awal dinyatakan ini sebagai bentuk pelaksanaan perintah gubernur untuk mengambil alih pengelolaan air di Jakarta. Akan tetapi, ternyata dilakukan dengan membuat perjanjian pernyataan kembali.

Artinya, lanjut Tommy, tidak ada pengambilalihan sebagaimana yang dijanjikan Gubernur pada 11 Februari lalu. Ia menganggap dalam HoA dengan Aetra, swastanisasi air akan tetap dilanjutkan. "Gubernur memberi ‘karpet merah’ kepada swasta untuk menjadikan air sebagai komoditas memperkaya diri," kata dia.

Ia memaparkan, pada 11 Februari lalu, Anies menyatakan akan mengambil alih pengelolaan air seluruhnya. Hal itu meliputi aspek penyediaan air baku, pengolahan air, hingga distribusi air dan pelayanannya kepada masyarakat.

Namun, ia menyebut, HoA tersebut terlalu teknis. Ia hanya ingin pemerintah memastikan air kembali ke negara, dalam hal ini Pemprov DKI. Selain itu, ia meminta tidak menjadikan air sebagai barang ekonomi untuk memperkaya segelintir orang.

Di sisi lain, Tommy juga mengatakan, dalam proses pengambilalihan pengelolaan air itu, publik juga harus dilibatkan. Sebab, menurut Mahkamah Konstitusi (MK), air merupakan barang publik.

"Ketertutupan proses pengambilalihan, ketiadaan ruang konsultasi publik, tidak dilayaninya permintaan informasi publik oleh Pemprov justru menunjukan Pemprov masih melihat air bukan urusan publik," kata Tommy menjelaskan.

Untuk itu, menurutnya, kemungkinan bisa saja KMMSAJ akan menempuh langkah hukum. Sebab, warga Ibu Kota belum mendapat kejelasan yang melibatkan kebutuhan dasar mereka.

"Langkah hukum apa pun sangat mungkin ditempuh oleh siapa pun saat semua pihak, khususnya masyarakat, telah mendapat kejelasan. Saat ini masih banyak hal yang tidak jelas," ujar dia.

Sementara, Direktur Utama PD PAM Jaya Priyatno Bambang Hernowo mengatakan, HoA dengan Aetra merupakan pengembalian konsensi pengelolaan air di Jakarta. Kewenangan untuk pengelolaan air di Ibu Kota diserahkan ke PAM Jaya selaku Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).

"Pengembalian konsesi. Kewenangan untuk pengelolaan di PAM Jaya," ujar Bambang saat dikonfirmasi Republika.

Namun, ia belum menjelaskan secara perinci mengenai kewenangan apa saja yang bisa dikelola PAM Jaya, apakah empat aspek yang telah disebutkan Anies sebelumnya atau tidak. Bambang mengatakan, penandatanganan HoA dengan Presiden Direktur PT Aetra Air Jakarta Edy Hari Sasono sebagai langkah awal dalam pengambilalihan pengelolaan air bersih di Jakarta. Penandatanganan kesepakatan awal disebut sebagai wujud langkah perdata.

Ia memaparkan, ada empat hal yang disepakati dalam kesepakatan awal tersebut. Pertama, Aetra bersepakat mengembalikan konsesi pengelolaan air di DKI Jakarta kepada PAM Jaya.

Kedua, sepakat untuk melakukan uji tuntas atau due diligence sebagai pertimbangan PAM Jaya dalam menyusun syarat dan ketentuan dalam pengembalian konsesi dan implikasinya. Ketiga, sepakat menyusun transisi dalam pengelolaan sistem penyediaan air minum (SPAM) di DKI Jakarta.

Bambang menyebutkan, setelah pengembalian konsesi dan menyusun peningkatan pelayanan untuk mencapai akses 82 persen pada 2023, yang akan dituangkan dalam perjanjian pernyataan kembali. Sementara kesepakatan baru setelah HoA, ia berharap dalam waktu enam bulan akan dicapai.

Kesepakatan baru dengan berdasar pada hasil uji kelayakan. Selain itu, demi proses yang lebih transparan, Pemprov DKI akan meminta BPKP untuk melakukan telaah terhadap hasil due diligence yang akan dilakukan serta pendampingan dari jaksa pengacara negara Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta untuk memastikan tata kelola yang baik dan patuh.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement