Selasa 16 Apr 2019 17:54 WIB

Ini Situs-Situs Resmi untuk Konfirmasi Hoaks

Dampak kerusakan hoaks dapat mengancam kualitas demokrasi.

Rep: Inas Widyanuratikah/ Red: Esthi Maharani
 Masyarakat membubuhkan tanda tangan saat kegiatan sosialisasi sekaligus deklarasi masyarakat anti hoax di Jakarta,Ahad (8/1).
Foto: Republika/Prayogi
Masyarakat membubuhkan tanda tangan saat kegiatan sosialisasi sekaligus deklarasi masyarakat anti hoax di Jakarta,Ahad (8/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Gerakan Nasional Literasi Digital Siberkreasi, Dedy Permadi mengingatkan agar masyarakat kritis terhadap berita yang beredar di media sosial. Sebab, bisa jadi berita yang beredar adalah informasi bohong atau hoaks. Ia mengatakan, warganet harus senantiasa melaksanakan 'baper' (baca, pelajari, baru direspon) terhadap semua berita di media sosial.

"Jangan mudah mempercayai dan meneruskan informasi yang sumber dan kebenarannya diragukan. Tiap informasi harus dibaca dengan teliti, dipelajari kebenarannya, dan direspon atau tidak direspon dengan turut serta mempertimbangkan etika," kata Dedy, saat konferensi pers pemilu damai di Kantor Bawaslu, Senin (15/4).

Ia melanjutkan, ada beberapa cara agar masyarakat bisa memeriksa apakah konten tertentu termasuk hoaks atau tidak. Siberkreasi juga memberikan informasi terkait situs cek fakta yang terpercaya.

Situs-situs tersebut adalah stophoax.id, cekfakta.com, dan turnbackhoaks.id. Selain itu, ada pula chatbot verifikasi informasi resmi milik Kementerian Komunikasi, dan Informatika (Kemenkominfo) melalui Telegram @chatbotantihoaks dan nomor Whatsapp resmi dari Mafindo +6285574676701.

Tren merebaknya hoaks meningkat sejak tiga bulan terakhir. "175 hoaks di bulan Januari, 353 hoaks di bulan Februari, dan 453 hoaks di bulan Maret 2019," kata Dedy menjelaskan.

Dampak kerusakan hoaks dapat mengancam kualitas demokrasi. Beredarnya berita bohong, perundungan siber, ujaran kebencian, kemarahan yang dibuat-buat dan pembocoran data pribadi kerap terjadi menjelang pemilu.

Kebohongan yang terulang lama kelamaan bisa dianggap sebagai sebuah kebenaran. Dedy beranggapan pengguna media sosial kerap kali tidak menyadari bahwa dirinya sedang berada dalam pengaruh informasi yang terdistorsi.

"Yang sering ditemui justru sikap merasa paling benar dan menolak konten selain yang diyakininya benar, meski berdasar fakta sekalipun," kata Dedy.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement