Selasa 16 Apr 2019 06:02 WIB

Erick Thohir: Persahabatan Kita Insya Allah Abadi

Persahabatan selalu ada di atas segala perbedaan pilihan

Erick Thohir
Foto: Republika/Prayogi
Erick Thohir

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Erick Thohir*

Mengapa surah dalam Alquran punya dua karakter yang berbeda? Mengapa ada surah yang jumlah ayatnya sangat panjang dan ada yang pendek?

Pertanyaan-pertanyaan itu pernah memenuhi kepala saya. Seorang guru ngaji lantas menjelaskan kepada saya makna di balik perbedaan itu. Perbedaan itu terkait konteks waktu dan lokasi diturunkannya ayat-ayat. Ada surah yang diturunkan di Kota Makkah (Makiyyah), ada pula surah yang diturunkan di Madinah (Madaniyyah).

Makiyyah memiliki karakter surah dengan ayat -ayat yang pendek. Isinya juga cenderung puitis, ritmenya berirama, dan bersajak. Sebaliknya, Madaniyyah punya ayat yang cenderung panjang dengan konten ihwal hukum syariat, muamalat, dan ibadah.

Sesuai dengan lokasi dan waktunya, Makiyyah diturunkan sebelum Rasulullah melakukan hijrah. Makiyyah diturunkan saat Rasul sedang berjuang keras menyebarkan Islam. Saat itu, mayoritas penduduk Makkah belum beriman. Alhasil banyak ayat ditujukan kepada orang-orang yang belum beriman.

Sebaliknya surah Madaniyyah diturunkan sesudah Rasul hijrah dari kota Makkah ke Madinah. Saat itu, Islam mulai membesar. Alhasil, ayat-ayat Madaniyyah lebih banyak ditujukan kepada orang yang telah beriman.

Konteks waktu dan lokasi membuat surah Makiyyah dan Madaniyyah berbeda. Perbedaan yang justru menjadikan Alquran sebagai sebuah kitab yang sangat indah sekaligus guidance yang ideal; Kitab yang memberi banyak makna dan pelajaran bagi manusia yang mengimaninya.

Saya, Anda, dan kita semua sebagai umat Islam, memang patut meresapi makna di balik perbedaan surat Makiyyah dan Madaniyyah. Sebab konteks lokasi dan waktu nyatanya menghasilkan perbedaan dalam kitab suci.

Pemaknaan surat dari Makkah dan Madinah ini yang patut juga kita tarik dalam kehidupan bernegara. Indonesia yang tersebar dari beragam latar dan lokasi tentunya membawa pada beragam perbedaan. Berkaca dari contoh Alquran itu, perbedaan sudah seharusnya tidak berkembang menjadi sebuah permusuhan melainkan keindahan dalam demokrasi.

Tapi tak bisa dimungkiri berbeda pilihan politik kini membuat masyarakat terbelah pada dua kutub pilihan yang berbeda. Sebagian menganggap perbedaan kutub ini sebagai hal yang wajar. Namun, banyak yang belum bisa menyikapi perbedaan ini secara dewasa.

Untuk urusan agama saja perbedaan merupakan kewajaran, apalagi soal politik. Sebab politik sejatinya merupakan sarana untuk mengelola perbedaan dalam hubungan bernegara. Bersaing untuk sebuah pilihan politik pun merupakan hal yang wajar. Apalagi memasuki masa pemilu seperti sekarang ini.

Sayangnya, banyak oknum yang ingin menjatuhnya pesaingnya dengan menghalalkan segala cara, termasuk menggunakan fitnah dan hoax. Walhasil kubu politik yang berbeda pun dipandang sebagai musuh. Hal yang jelas melenceng dari tujuan kita berbangsa, bernegara, bahkan beragama.

Karena itu, sebagai warga negara maupun umat beragama yang baik, kita sudah sepatutnya tak melenceng dari aturan konstitusi maupun kitab suci. Tak ada aturan undang-undang maupun kitab suci yang mengajarkan kita untuk menempuh segala cara untuk meraih tujuan politik. Terkecuali jika kitab suci anda adalah Il Principe karya Niccolo Machiavelli.

Mungkin, sepanjang massa kampanye kita semua sudah berusaha keras. Pikiran, harta, tenaga, hingga emosi tersedot untuk menyukseskan jagonya. Namun pada akhirnya, kita perlu menyadari kontestasi politik ini adalah hal yang sementara, sedangkan kepentingan Indonesia selamanya.

Menjelang hari pencoblosan, siapa pun pasti ingin jadi pemenang. Tapi merujuk ayat-ayat surah Makkah maupun Madinah, meski keduanya berbeda konteks ruang, waktu, dan konten, tetapi masih banyak persamaan yang mempertemukan yakni di berbagai ayatnya sama-sama mengajarkan kita untuk bertawakal. Sebab pada akhirnya, manusia hanya bisa berusaha tapi Allah pula yang menentukan hasilnya.

Siapapun Anda, izinkan saya lewat tulisan ini mengucapkan salam persahabatan di atas segala perbedaan pilihan. Pemilu hanya lima tahun sekali, tapi persahabatan kita In Sya Allah abadi.

* Penulis adalah Komisaris Utama Republika

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement