REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia memiliki Pancasila sebagai dasar negara. Namun, belakangan ini tidak sedikit orang Indonesia yang justru seakan-akan menyepelekan Pancasila. Intisari falsafah bangsa itu tidak sampai meresapi kesadaran mereka.
Hal itu disampaikan staf peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Elisabeth Andriyana. Menurut dia, masih ada orang yang memandang Pancasila sebatas dokumen atau prasasti, tanpa merasa perlu mengkaji alasan keberadaan (raison d'etre) atau sejarah di balik Pancasila.
“Ini ironi. Kita punya nilai luhur tentang Pancasila. Itu yang rasanya sampai saat ini hanya berupa hafalan saja. Bagaimana menerapkan nilai Pancasila ini, bahkan kadang dianggap mudah, padahal kita tidak sungguh-sungguh melakukannya. Itu yang menjadi alasan adanya potensi perpecahan dan ketertutupan dalam menerima keberagaman,” papar Elisabeth Andriyana saat ditemui di Jakarta, Senin (15/4).
Dia meneruskan, apabila para politikus di negeri ini berpegang teguh dan sungguh-sungguh memahami intisari Pancasila, maka segala sikap khususnya korupsi tidak akan merebak luas di Tanah Air. Elisabeth juga mengaku khawatir bila semakin banyaknya orang yang meragukan keluhuran nilai-nilai Pancasila.
Hal itu menunjukkan rendahnya pemahaman masyarakat untuk mengkaji atau mengkritisi sistem pemerintahan Indonesia secara mendalam. Di samping itu, menurut Elisabeth, belakangan ini, masyarakat kian pragmatis dalam memandang politik. Nilai-nilai luhur Pancasila kurang ditampakkan.
“Saya sangat khawatir karena banyak orang yang kurang mempercayai Pancasila. Dan tak sedikit dari kita hanya paham Pancasila sepenggal-sepenggal,” kata dia.
“Jangan sampai Pancasila hanya sekedar dokumen tak bernyawa, tapi sebuah pedoman untuk mengimplementasikan di kehidupan sehari hari,” lanjut dia.
‘PR’ untuk Presiden Terpilih
Dalam konteks pemilihan umum (pemilu), Elisabeth Andriyana menilai kubu-kubuan pemilih pada pesta demokrasi kali ini lebih ekstrim dibanding pemilu-pemilu sebelumnya. Hal itu, menurut dia, pada dasarnya sudah terdeteksi sejak lama, tetapi kurang dikaji secara serius.
Tajamnya kubu-kubuan itu juga mengindikasikan adanya sikap intoleran. Padahal, untuk menciptakan suatu peradaban, Indonesia perlu terbiasa dalam menerima perbedaan. Setiap elemen bangsa seyogianya berperan dalam menjadi bagian dari keberagaman, alim-alih homogenisasi.
“Ini yang menjadi PR (pekerjaan rumah) untuk presiden terpilih nantinya agar keberagaman dapat dilindungi dan dijaga. Kalau intoleran tidak dicegah, maka peradaban yang muncul nantinya akan lebih intoleran,” kata dia.
Toleransi tidak berarti membolehkan suatu kelompok atau individu untuk melakukan segala macam hal. Sikap toleran berarti menerima keberagaman. Maka, itulah terdapat limitasi, di mana seseorang harus memperhitungkan perasaan orang lain sebelum melakukan atau mengucapkan sesuatu. Ada pula semangat belajar untuk menghormati perbedaan.
“Kadang kadang orang salah tanggap tentang hal ini, dan menganggap toleransi berarti bebas melakukan apa pun, padahal toleransi adalah batasan untuk berusaha menghargai orang lain,” jelas Adriyana.