REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ratusan WNI di Sydney, Australia, seperti laporan yang diterima Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Maruf, mengaku tidak bisa mencoblos dan terpaksa berstatus golput. Massa yang masuk dalam Daftar Pemilih Khusus (DPK) itu tidak bisa memberikan suara mereka menyusul keterbatasan waktu.
Sejatinya, dalam aturan main pemilu disebutkan bahwa pemilih yang berstatus DPK berhak mencoblos pada satu jam terakhir atau sebelum pukul 18.00 waktu Sydney. Namun, faktanya Panitia Pemiliham Luar Negeri (PPLN) Sydney tidak sanggup menampung lonjakan massa sehingga antrian membeludak.
Di Australia, WNI secara serempak melakukan pemilu pada Sabtu (13/4) Kekecewaan massa yang tidak dapat mencoblos ditumpahkan di sosial media. Bahkan, saat ini lebih dari 3.000 WNI sudah menandatangani petisi untuk mendesak pemilu ulang di Sydney.
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia Arief Budiman menjelaskan bahwa pihaknya akan menyelidiki terlebih dahulu tentang dugaan kecurangan pemilihan umum yang terjadi di Sydney, Australia. "Saya sudah minta kepada Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) agar berkoordinasi dengan Bawaslu kemudian meneliti apakah ada ketentuan-ketentuan yang dijalankannya tidak sesuai," kata Arief dalam Rapat Koordinasi Kesiapan Akhir Pengamanan Tahapan Pemungutan dan Perhitungan Suara Pileg dan Pilpres Tahun 2019, di Jakarta, Senin (15/4).
Menurut dia, jika ada ketidaksesuaian terhadap penyelenggaraan pemilu di Sydney maka akan ada pasal yang mengatur terhadap dugaan pelanggaran tersebut. "Itu juga ada pasal-pasal yang mengatur apakah pemilunya bisa dilanjutkan atau ada pemilu susulan. Nah itu yang harus dicek dulu masuk kategori yang mana kemudian direspons dengan cara bagaimana," jelas Arief.
Lebih lanjut, Arief menjelaskan bahwa tim yang berwenang harus melakukan peninjauan terhadap WNI yang masuk dalam antrean apakah mereka memenuhi syarat sebagai pemilih atau tidak. "Itu perlu dipastikan dulu apakah pemilih yang memang memenuhi syarat sebagai pemilih. Jadi kita akan meminta laporan secepatnya lalu diputuskan seperti apa untuk menindaklanjuti hal tersebut," ujar Arief.
Berdasarkan peraturan dari KPU, jika di Indonesia pemungutan suara di TPS dilakukan dari pukul 07.00 sampai 13.00, jika pukul 13.00 masih terdapat antrean maka orang-orang yang sudah hadir sebelum pukul 13.00 tersebut tetap harus dilayani haknya, tetapi jika ada pemilih yang datang lewat pukul 13.00 maka orang tersebut tidak diperkenankan untuk mencoblos. Hal tersebut juga berlaku di seluruh negara termasuk di Sydney, Australia.
"Tinggal disesuaikan dengan jadwal waktu disana saja, kalau di sini kan sampai jam satu siang," jelas Arief.
Sebelumnya, Tim Kampanye Nasional Koalisi Indonesia Kerja (TKN KIK) mengaku menerima ratusan keluhan WNI di luar negeri terkait hak pilih. TKN mengatakan, laporan dibuat menyusul terhalangnya WNI untuk menggunakan hak pilih mereka.
Keluhan serupa juga diterima dari beberapa negara lain semisal Jerman dan Selandia baru. Kendati hingga Ahad (14/4), TKN masih menghimpun jumlah keseluruhan laporan beserta seberapa besar tingkat pelanggarannya.
"Nah kita masih mengidentifikasi menunggu laporan semua dari semua kejadian yang ada di luar negeri," kata Direktur Hukum dan Advokasi TKN KIK Ade Irfan Pulungan.