REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Sejumlah massa dari berbagai elemen melakukan aksi memperingati dua tahun teror terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan, di depan gedung KPK, Jakarta, Kamis (11/4). Aksi yang dinakhodai Wadah Pegawai (WP) KPK menuntut mangkraknya penanganan kasus yang terjadi pada 11 April 2017 tersebut.
Dalam aksi itu, Novel kembali meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) segera membentuk tim gabungan pencari fakta (TGPF) independen. "Semua masyarakat Indonesia marilah kita mendesak kepada Bapak Presiden untuk mau peduli untuk dibentuk TGPF," kata Novel.
Desakan pembentukan TGPF independen, kata dia, tak ada hu bungannya dengan politik atau pilpres pada 17 April. Pembentukan TGPF akan menjadi kesempatan Jokowi menunjukkan komitmennya dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Menurut Novel, TGPF penting untuk mengusut 10 kasus teror terhadap pegawai dan pimpinan KPK. Sebab, tanpa pengusutan tuntas, teror serupa akan terus terjadi.
Ketua WP KPK Yudi Purnomo Harahap mengatakan, masyarakat mulai muak dengan pejabat korup sehingga berharap banyak terhadap KPK. Namun, upaya teror terhadap sejumlah pegawai KPK mengganggu langkah KPK. Dia meminta pemerintah, khususnya kepolisian, serius menuntaskan kasus-kasus tersebut.
"Mari berkumpul di KPK untuk mendukung Presiden berani membentuk TGPF (tim gabungan pencari fakta) independen agar teror terhadap KPK berhenti," kata Yudi.
Peringatan dilakukan dengan mimbar bebas dan orasi dari berbagai elemen masyarakat. Acara dilanjutkan dengan deklarasi antiteror terhadap pemberantasan korupsi oleh tokoh-tokoh nasional.
Sejumlah tokoh yang turut membacakan deklarasi, yakni tiga mantan komisioner KPK, Abraham Samad, Bambang Widjojanto, dan Busyro Muqoddas. Kemudian, turut serta pula aktivis HAM Nursjahbani Katjasungkana dan mantan ketua PPATK, Yunus Husein.
Pada Kamis malam, Cak Nun memimpin diskusi bersama Novel Baswedan. Sementara, presenter Najwa Shihab membawakan musikalisasi puisi.
Sementara, tim gabungan pengusutan kasus Novel bentukan Kapolri Jenderal Tito Karnavian memastikan telah memeriksa sejumlah perwira tinggi di kepolisian. Anggota dewan pakar tim itu, Nur Kholis, mengungkapkan, kedua perwira tinggi Polri itu dianggap mengetahui aksi penyiraman air keras terhadap Novel.
"Sudah beberapa kami periksa. Persisnya saya lupa kalau perwira. Mungkin dua atau lebih. Tingkat bintang saya pastikan ada," kata Nur Kholis kepada Republika, Rabu (10/4).
Tim gabungan, kata dia, saat ini terus bekerja mengungkap fakta penyerangan pada 11 April. Hingga Rabu (10/4), lima anggota dewan pakar dan dua anggota pendamping tim melakukan pemeriksaan terhadap sejumlah saksi di Ambon, Maluku. Tiga hari mereka di sana melakukan uji alibi dari hasil penyelidikan dan penyidikan Polri sebelumnya.
Uji alibi itu merupakan kelanjutan dari proses serupa di sejumlah kota. Sebelum ke Maluku, tim itu juga melakukan uji lapangan dan memeriksa saksi di Bekasi dan Sukabumi, Jawa Barat.
Setelah itu, kata Nur Kholis, tim beranjak ke Malang, Jawa Timur, juga untuk memeriksa saksi. Saksi- saksi ini bukan tersebar di beberapa tempat. "Namun, kan begini, saksi- saksi ini berdasarkan waktu berpindah-pindah tempat. Walaupun pindah ke mana, tetap tim gabungan akan temui," kata dia.
Nur Kholis juga mengatakan, tim gabungan bekerja sama dengan kepolisian Inggris untuk mempertajam kualitas gambar CCTV yang merekam kejadian. Anggota tim gabungan, Poengki Indarti, mengaku sampai saat ini masih menunggu hasil dari kerja sama tersebut. "Belum, kami masih menunggu hasilnya," kata dia dalam keterangan tertulisnya.
Tim itu juga menyusuri pende katan scientific crime investigation yang telah dilakukan tim penyidik. Dan dalam waktu dekat, tim akan melakukan konsinyering, uji alibi, serta pendalaman saksi di Jawa Tengah dan berkoordinasi dengan lembaga-lembaga terkait, antara lain, KPK, Komnas HAM, Kompolnas, dan Ombudsman, katanya.
Peringatan 2 Tahun Novel Baswedan. MH Ainun Najib atau Cak Nun (tengah) bersama Penyidik KPK Novel Baswedan menghadiri peringatan 2 Tahun Teror Novel di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (11/4/2019).
Pegawai KPK petisi pimpinan
Mangkraknya kasus Novel juga membuat pegawai KPK mengirimkan petisi kepada pemimpinnya. Abraham Samad menilai, petisi itu sebagai bentuk keresahan karena sejumlah persoalan di internal KPK tak kunjung diselesaikan.
"Jadi begini, apa yang terjadi saat ini adalah gejolak. Gejolak perasaan pegawai-pegawai yang mulai resah. Mengapa mulai resah? Karena ada beberapa persoalan yang mendasar itu sampai detik ini belum bisa diselesaikan," kata Samad.
Samad pun mencontohkan keresahan para pegawai dalam penyelesaian kasus Novel yang tak jelas ujungnya. Menurut dia, pemimpin KPK sekarang harusnya lebih proaktif mendorong dan mengingatkan presiden agar segera membentuk tim independen.
"Bahkan, hemat saya pimpinan KPK harusnya lebih melihat dengan adanya desakan dari pegawai KPK praktis sekarang keadaan itu sedang makin tidak kondusif," katanya.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, dokumen petisi itu sudah diterima oleh pimpinan KPK. Ia mengungkapkan, pimpinan KPK akan mengagendakan pertemuan dengan para pegawai dalam waktu dekat. Dia memastikan pimpinan KPK akan mendengar masukan dari pegawainya secara langsung.
"Jadi, kalau ada masukan-masukan, ada kendala-kendala yang terjadi di level, katakanlah di level teknis, ya dalam proses penanganan perkara atau pelaksanaan tugas, maka pimpinan akan mendengarkan hal tersebut," katanya. (Dian Fath Risalah/Bambang Noroyono/Mabruroh ed:Ilham Tirta)
Isi Deklarasi Koalisi Masyarakat Sipil
- Mencanangkan tanggal 11 April sebagai Hari Teror Terhadap Pemberantasan Korupsi dan Pembela HAM di Indonesia.
- Menolak segala bentuk kebohongan, kepura-puraan, dan kepalsuan semua pihak yang seolah-olah mendukung KPK.
- Menuntut kepada Presiden RI untuk bersikap tegas dan terang memerangi teror serta pelemahan terhadap KPK.
- Menuntut Presiden RI untuk berhenti menunda-nunda pembentukan TGPF independen.
- Menuntut kepada Presiden RI untuk memastikan pengungkapan 10 kasus teror terhadap KPK.