Jumat 12 Apr 2019 07:09 WIB

Jangan Pilih Caleg yang tak Laporkan Harta Kekayaan

Pelaporan harta kekayaan sudah ‘dipaksa’ dan dipermudah.

Muhammad Hafil
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
Muhammad Hafil

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Muhammad Hafil*

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menutup batas akhir pelaporan LHKPN pada 31 Maret 2019 lalu. Hasilnya, dari 250 ribu wajib lapor LHKPN yang terdiri dari penyelenggara negara, penegak hukum, hingga pejabat BUMN ada 87 ribu yang belum melaporkan.

Atau, tingkat kepatuhan wajib lapor LHKPN sebesar 74,39 persen. Meski angkanya sudah di atas 50 persen, tetapi masih banyak wajib lapor LHKPN yang tidak melaporkan kekayaannya kepada KPK.

Sebagai contoh, salah satu instansi yang tingkat kepatuhannya melaporkan kekayaannya rendah adalah DPR RI. Dari 557 wajib lapor di DPR, hanya 312 yang mengurus laporan kekayaannya.

Dikutip dari acch.kpk.go.id, LHKPN merupakan kewajiban bagi wajib lapor LHKPN. Tujuannya, sebagai transparansi informasi mengenai aset yang dimiliki oleh pejabat publik.

Sehingga, bisa diketahui penambahan harta kekayaan pejabat saat dilantik hingga mengakhiri masa jabatannya , apakah bersumber dari sumber yang sah atau terdapat sumber yang berpotensi berasal dari suap ataupun korupsi.

Kewajiban lapor kekayaan diyakini penting oleh banyak negara sebagai media meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pejabat dan lembaga publik, serta untuk mendukung tercapainya tujuan pemberantasan korupsi yang efektif.Di Indonesia, LHKPN mulai diberlakukan di Indonesia setelah diundangkannya Undang-undang No. 28 tahun 1999.

Namun, dengan masih adanya wajib lapor yang tidak melaporkan kekayaannya, mengindikasikan lembaga atau wajib lapor tersebut tidak berkomitmen mewujudkan upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi. Ini tentu sangat disayangkan. Hal ini tentunya harus menjadi perhatian bersama. Terutama, dari instansi yang memiliki wajib lapor.

Sejumlah cara perlu dilakukan untuk memaksa wajib lapor melaporkan kekayannya. Misalnya, pimpinan instansi harus memberikan sanksi kepada wajib lapor di instansinya jika tak melaporkan LHKPN. Sehingga, hal ini membuat para wajib lapor mau tidak mau melaporkan kekayannya kepada KPK.

Cara berikutnya, yaitu dengan menjadikan pelaporan LHKPN sebagai syarat promosi jabatan. Ini sudah dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA). Di mana, kepatuhan LHKPN menjadi salah satu syarat promosi hakim di jajaran Mahkamah Agung.

Selain cara-cara 'memaksa' tadi, perlu juga diberikan akses kemudahan bagi wajib lapor untuk melaporkan kekayaannya. Misalnya, yang sudah diterapkan oleh KPK dan DPR yaitu dengan menerapkan E-LHKPN sejak 2018 lalu. Di mana, program ini mempermudah anggota DPR yang belum memperbarui LHKPN mereka. Dengan sistem online, anggota DPR bisa langsung mengisi di situs elhkpn.kpk.go.id.

Namun, kembali lagi, meski sudah dipaksa dan diberi kemudahan, tetapi masih saja ada wajib lapor yang tak melaporkan kekayaannya, maka wajib lapor ini sangat bisa diragukan komitmennya dalam pemberantasan korupsi. Jika wajib lapor ini adalah politikus, maka jangan pilih dia lagi. Jika wajib lapor ini adalah pejabat, maka diharapkan kepada pimpinan intansi tersebut untuk tidak mengangkatnya kembali menjadi pejabat. Karena, LHKPN menjadi indikator komitmen wajib lapor terhadap komitmen pemberantasan korupsi.

*) Penulis adalah redaktur republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement