REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Mi instan siap seduh dilarang dijual di area stasiun Moda Raya Terpadu (MRT). PT MRT Jakarta melarang minimarket yang berada di area stasiun menjual makanan cepat saji yang berpotensi menimbulkan sampah dan membahayakan operasional MRT.
"Karena banyak menimbulkan sampah dan banyak juga yang dibawa masuk ke dalam stasiun. Jadi, ini membahayakan untuk operasional di dalam stasiun dan kami putuskan untuk yang mi instan tidak dijual lagi," kata Sekretaris Perusahaan PT MRT Jakarta Muhammad Kamaluddin, Rabu (10/4) malam.
Ia mengatakan, hal itu terlihat dari ditemukannya sampah yang berasal dari produk-produk yang dijual di gerai-gerai makanan. Menurut Kamal, pihaknya tak ingin wadah plastik dan sejenisnya dibuang sembarangan di area stasiun.
Ia melanjutkan, PT MRT Jakarta telah mengeluarkan surat teguran kepada pemilik minimarket yang menjual mi instan siap seduh. Sampah yang berasal dari gerai yang ada di stasiun MRT menjadi tanggung jawab masing-masing retail.
"Kami berikan teguran tertulis ke pemilik minimarket, terutama untuk sampah ini di masing-masing retail menjadi tanggung jawab retailer. Jadi kami misalkan ada sampah yang keluar dari sana, harus dikelola mereka," jelas Kamal.
MRT Jakarta fase I rute Lebak Bulus-Bundaran HI menyisakan utang yang harus dilunasi dalam jangka waktu 40 tahun. Sekretaris Perusahaan PT MRT Jakarta Muhammad Kamaluddin mengatakan, pinjaman dari pemerintah Jepang melalui Badan Kerja Sama Internasional Jepang (JICA).
"Sisanya, baru membayar cicilan, nominalnya kan interest-nya 0,1 persen, kemudian besar pinjamannya untuk fase I itu sekitar Rp 16 triliun. Jadi, itu yang dibagi pembayaran dalam 40 tahun akan lunas oleh pemerintah," ujar Kamal.
Ia mengatakan, pinjamannya itu sendiri diserahkan ke perusahaan sebagai penanaman modal. Sementara, untuk pembayaran utang itu dilakukan pihak pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta.
Menurut Kamal, pembagiannya 49 persen dan 51 persen. "Goverment ke goverment, dari pemerintah pusat kepada pemerintah Jepang dan itu dibagi 49:51 dengan pemerintah daerah, tapi yang membayar langsung ke pemerintah Jepang dari pemerintah pusat," kata dia.
Ia menambahkan, utang akan dibayarkan secara bertahap selama 40 tahun dengan masa tenggang atau grace period selama 10 tahun. Artinya, pemerintah Indonesia mulai mencicil pinjaman 10 tahun setelah pinjaman itu ditandatangani.
Sementara, untuk pembangunan MRT Jakarta fase II rute Bundaran HI-Kota, pemerintah kembali berutang ke JICA. Direktur Utama PT MRT Jakarta William Sabandar mengatakan, pembiayaan pembangunan MRT fase II menelan biaya sebesar Rp 22,5 triliun dari dana pinjaman pemerintah Jepang.
“Kita dapat pinjaman, jadi tinggal dikerjakan,” kata William, beberapa waktu lalu.